SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra Menjawab
OTOT Tidak Memiliki OTAK untuk Berpikir ataupun untuk
Diajak Berpikir, Itulah Preman
Question: Apakah ada tips, untuk bisa melindungi diri dari preman yang banyak berkeliaran di luar sana?
Brief Answer: Dari pengalaman pribadi penulis, percuma saja
beragumentasi verbal maupun mencoba menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya
kepada para kalangan preman pelaku aksi premanisme. Sedari awal, mereka mendatangi
kita memang semata untuk menganiaya dan pamer arogansi kekerasan fisik, dimana
moto kalangan premanisme ialah “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan
fisik”—bukan dengan otak, mengingat otot tidak memiliki otak, sehingga
adalah percuma mengharap otot mereka mampu mencerna penjelasan ataupun
argumentasi kita untuk menilai siapa yang benar dan siapa yang keliru.
Begitupula kalangan preman “sponsored” yang disewa atau diutus dan dibayar oleh warga lain yang
berniat tidak baik terhadap kita, mereka datang dengan praduga negatif bahwa
kita ada di pihak yang keliru dan patut mereka aniaya “penghakiman yang main
hakim sendiri” (persekusi), seolah-olah mereka adalah hakim sekaligus pembuat
aturan dan eksekutornya, dimana juga mereka hanya mendengarkan aduan secara
sepihak dari pihak yang mengutus mereka, tanpa pernah mau mendengarkan (menutup
telinga rapat-rapat) dari penjelasan pihak korban.
Bila mereka datang semata dengan niat buruk
berupa misi untuk menganiaya dan main hakim sendiri, sehingga adalah percuma mengajak
dialog pihak yang “mau menang sendiri” serta “merasa benar sendiri” sekalipun
para preman utusan tersebut menuding pihak korban dengan dasar berupa “katanya,
katanya, dan katanya” semata. Dialog, hanya dapat tercipta ketika kedua belah pihak
saling mau menutup mulut dan membuka telinga, bukan hanya mau membuka mulut
namun menutup telinga rapat-rapat. Sayangnya, preman tidak memiliki kapasitas
maupun kemampuan dan kemauan untuk membuka telinga, dimana otot mereka pun
tidak dapat diajak untuk berpikir.
Namun demikian, terdapat satu tips argumentasi
yang cukup efektif dapat penulis kemukakan dalam kesempatan ini, dimana kita tidak
perlu berdebat panjang-lebar, tidak perlu juga menjelaskan sepatah katapun,
serta tidak perlu pula mengemis-ngemis agar tidak disakiti. Cukup katakan
kalimat berikut, tanpa rasa gentar ataupun takut, ketika kalangan preman
mendatangi kita dengan pastilah itikad untuk “tidak baik-baik” (sejak awal mereka
telah bersiap untuk melakukan aksi kekerasan fisik) :
“Percuma
saja saya jelaskan kepada kalian. Seperti apapun saya jelaskan, kalian akan
merasa lebih benar sendiri, mau menang sendiri. Niat kalian datang ke rumah
saya, dari sejak awal memang untuk main kekerasan fisik, bukan?! Sekarang
saya tanya kalian, kalian takut dosa atau tidak, dengan melukai atau menganiaya
orang lain? Jika kalian tidak takut berbuat dosa dengan lukai ataupun sakiti
orang lain, berarti kalian bukan orang baik-baik, kalian orang yang TIDAK
BENAR! Orang yang tidak benar kok, banyak bicara dan mau menggurui bahkan
mau menghakimi orang lain!?”
Atau cukup secara singkat saja, “Sekarang saya tanya kalian, kalian takut
dosa atau tidak, dengan melukai atau menganiaya orang lain? Jika kalian tidak
takut dosa, berarti kalian bukan orang baik-baik, kalian orang yang TIDAK BENAR!”
Selebihnya, tidak perlu berkata-kata apapun, apapun dalil ataupun alibi para
preman tersebut tidak perlu kita tanggapi. Jika mereka, para preman tersebut, benar-benar
melancarkan aksinya merusak atau menganiaya dan main anarkhi sendiri, maka
segala tudingan kita telah benar adanya, dan para preman tersebut tidak lagi
dapat bermain modus “play innocent”
di alam baka nantinya.
Mengapa para preman tersebut, memiliki sikap dan cara
berpikir yang irasional, sehingga untuk hal sederhana seperti pernyataan tersebut
di atas saja, sampai perlu kita sebutkan dan nyatakan kepada mereka? Semata karena
para preman tersebut memang “tidak punya otak”, mereka hanya bermodalkan “otot”
untuk menyelesaikan setiap masalah, sekalipun kita ketahui, “otot” tidak memiliki
otak untuk berpikir ataupun untuk diajak berpikir dan melakukan pertimbangan
moril. Mereka tidak memiliki otak untuk dapat diandalkan, selama ini mereka
mengandalkan otot mereka untuk menggerakkan hidup mereka—ibarat mobil berukuran
besar melaju kencang tanpa pengemudi membawa ancaman bahaya bagi orang lain
maupun bagi dirinya sendiri, semata karena memang adalah mustahil otot diajak ataupun
diharapkan untuk dapat berpikir.
PEMBAHASAN:
Karenanya, kalangan preman di Indonesia
adalah para “hakim” yang buruk, mendengar hanya dari satu pihak dan satu versi
yang mereka bela dan yang tentunya membayar atau menyewa jasa otot “main hakim
sendiri” mereka. Mereka juga adalah eksekutor yang buruk, dimana sekadar saling
menyinggung secara verbal memberi mereka “alasan pembenar” seolah memiliki justifikasi
serta legitimasi untuk merampas hak orang lain untuk tidak disakiti dan tidak
dirusak properti miliknya—verbal dibalas fisik. Mereka pun adalah “regulator”
yang buruk, membalas secara tidak proporsional, dimana kemua dalil atau
alibinya sekadar sebagai “alasan pembenar” untuk melakukan aksi tidak terpuji
semacam penganiayaan, melukai, hingga merusak, bahkan tidak jarang sampai
mengancam keselamatan jiwa para korbannya lewat ancaman senjata tajam.
Para preman pelaku aksi
premanisme, karenanya, merupakan para manipulator yang andal, bukan hanya
sekadar pemberani dan tidak tahu malu dalam hal berbuat jahat seperti melukai,
menganiaya, dan merugikan para korban-korbannya. Mereka ditakuti dan disegani
bukan karena warga menaruh rasa hormat, namun semata karena para warga “dibungkam”
serta “terbungkam” oleh rasa tercekam takut menjadi korban potensial kekerasan fisik,
mengingat moto kalangan preman ialah “menyelesaikan setiap masalah semata dengan
cara instan bernama KEKERASAN FISIK”.
Otak mereka terlampau
inkompeten untuk berdialog secara intelektual dan pertimbangan mendalam terlebih
diharap untuk mampu berpikir secara jernih. Otot di lengan dan kaki mereka
tidak terlatih untuk berpikir, dan hanya mereka rancang untuk semata melukai
dan menyakiti. Itu sama konyolnya dengan berupaya mengajak berdialog otot-otot mereka.
Yang menarik ialah, para preman tersebut ialah para pengecut paling tulen yang
dapat kita jumpai di muka Bumi ini. Sebagaimana kita ketahui, prinsip fairness para kalangan kesatria ialah hukum
berikut : Satu lawan satu, sama-sama tangan kosong atau sama-sama bersenjata.
Cobalah perhatikan fenomena
segala aksi premanisme di jalanan, baik preman pasar, preman baju compang-camping,
preman kerah putih, kesemuanya menampilkan satu pola yang seragam, yakni
sifatnya yang pengecut berupa kepengecutan dengan menghadapi korban yang
berdiri seorang diri tanpa dilengkapi senjata apapun, secara berkeroyokan serta
bersenjatakan senjata tajam. Tiada seorang preman yang tampil seorang diri, pastilah
akan ditemani oleh rekan-rekannya, dan dibekali pula senjata tajam—sekali lagi,
sekalipun calon korban yang mereka hadapi dan datangi ialah seseorang warga yang
hanya terdiri dari seorang diri, berpostur tubuh lebih kecil, serta tidak
bersenjatakan.
Para preman tersebut tidak akan
berani, ditantang atau menantang untuk adu duel tinju di atas ring tinju
lengkap dengan segala aturan main dunia kompetisi tinju—mereka terlampau pengecut
untuk kompetisi yang fair dan adil. Jika
Anda berani, saya tantang Anda “satu lawan satu, tangan kosong, memakai aturan
tanding tinju di atas ring tinju”. Ketika para preman tersebut menjadi tua dan
uzur, otot-otot mereka menjadi melemah, maka mereka memakai trik manipulatif
lainnya—ternyata cukup licik pula para kalangan preman—yakni bermanuver “banting
setir” menjelma sosok berwajah “play
innocent” dengan mendadak tampil alim, sopan, santun, ramah, penuh senyum,
anti kekerasan fisik, bersahabat, penuh kehangatan dan perhatian, semata dengan
tujuan mengandalkan belas-kasihan orang lain untuk melangsungkan hidup pada
usia tuanya, bahkan masih pula mengharap orang lain memberikannya tempat duduk
ketika menjadi penumpang di atas transportasi umum.
Karena itulah, seseorang
dihormati atau tidaknya, bukan karena faktor umur atau usia yang telah tergolong
“lanjut usia”, namun atas perbuatannya semasa hidup dan terutama selama ia
masih kuat dan muda—kini, rambutnya telah memutih, namun otak dan moralitas
serta kebijaksanaannya “kopong” alias “kosong”. Bagaimana mungkin pula, seorang
pendosa hendak berceramah perihal hidup bersih, murni, dan suci? Dengan mengatasnamakan
sebagai pria tua yang lemah, mereka mengharap dan menuntut diperlakukan secara
manusiawi dan berperikemanusiaan, namun terhadap korban-korban mereka semasa
masih muda, mereka menerapkan “standar ganda”.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.