SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra
Menjawab
KULTUR BANGSA BELUM BERADAB, MASIH BIADAB :
MENYELESAIKAN SEGALA MASALAH DENGAN KEKERASAN FISIK
Question: Mengapa orang Indonesia, menakutkan? Bahkan untuk sekadar menegur perilaku anggota masyarakat kita ketika mereka berbuat keliru kepada diri kita ataupun kepada orang lain, kita menjadi takut dan lebih takut? Mengapa pelakunya justru bisa lebih galak daripada korban mereka, ketika korban menyatakan keberatan diperlakukan tidak patut demikian?
Brief Answer: Ada budaya “sakit” yang mengusai mental bangsa
Indonesia, dan sudah sejak lama degradasi “standar moralitas” bangsa yang
semula dikenal penuh sopan-santun, tata-krama, budi pekerja, menjelma
pribadi-pribadi yang “menyelesaikan segala masalah dengan cara kekerasan
fisik”. Karena segala masalah diselesaikan dengan cara kekerasan fisik,
maka masyarakat kita tidak merasa berkebutuhan untuk menyelesaikan masalah
lewat diskursus non-fisik berupa dialog dan argumentasi verbal, dimana ancaman
kekerasan fisik selalu menghantui kita ketika salah satu pihak merasa cukup
selesaikan masalah secara seketika dengan bermain kekerasan fisik
(penganiayaan, pengeroyokan, aksi vandalisme, dsb).
PEMBAHASAN:
Sayangnya, otot tidak
ber-otak—dan juga sebaliknya, otak tidak ber-otot. Mereka yang lebih cenderung
semudah menggunakan “otot” untuk menyelesaikan setiap masalah yang mereka
jumpai, persoalan besar maupun persoalan kecil, alhasil kapasitas otak mereka
menjadi kecil dan menciut. “Otot”, baik otot kaki maupun otot lengan, tidak
memiliki kebijaksanaan. Seorang hakim yang baik, adalah hakim yang bekerja dengan
“otak” mereka ketika memeriksa dan memutus sebuah perkara hukum yang dihadapkan
kepadanya di pengadilan, bukan bekerja dengan “otot” di tangan maupun di kaki
sang hakim.
Pusat segala kebijaksanaan,
ialah aktivitas olah pikir (di “otak”) untuk mempertimbangkan dan menilai
secara objektif serta bijaksana, bukan sekadar bijaksini. Mereka pun, sebagai komplikasinya,
tidak akan paham ketika seseorang memberikan wejangan agar kita mulai “bekerja
cerdas” alih-alih “kerja keras”. Dengan “akal sakit milik orang sakit”, mereka
berasumsi bahwa “otot” di tangan dan di kaki mereka mampu untuk berpikir dan
membuat keputusan maupun penilaian secara bijaksana serta mampu bekerja secara “cerdas”.
“Otot”, cenderung reaktif,
sebagaimana sifat alamiah / nature-nya
yang mengedepankan gerak refleks maupun bagaimana para nenek moyang kita dalam
meloloskan diri dari “seleksi alam” sewaktu-waktu dapat dimangsa maupun untuk
dapat memangsa hewan buas di alam liar. Lawan atau lari, itulah yang
disuarakan oleh otak limbik dan reptil sisa dari warisan nenek moyang kita di
kepala kita. Karenanya, “otot” sama sekali tidak memiliki kaitan dengan kegiatan
olah pikir dan kebijaksanaan. “Otot”, merupakan instrumen “survival of the fittest” umat manusia pada zaman purbakala yang
telah menjadi “vosil”.
Sebaliknya, “otak” sebagai
pusat kebijaksanaan seorang manusia beradab, lebih cenderung pada aktivitas
kontemplatif dan introspektif, yang mana membutuhkan sejumlah waktu yang
memadai dalam proses olah pikirnya. Karenanya, keduanya adalah berbeda dari
segi karakter maupun tendensi dan cara bekerjanya. Karenanya juga menjadi tidak
mengherankan, mengandalkan semata “otot” untuk menyelesaikan setiap masalah, justru
menjadi masalah utama itu sendiri. Mereka, kembali menganiaya korban yang menjerit,
sebagai contoh, bukanlah menyelesaikan masalah, namun “membungkam” masalah.
Ketika umat manusia di zaman kontemporer
masih juga menggunakan semata “otot” untuk menyelesaikan setiap masalah yang
muncul dan mereka hadapi, maka itu bukanlah “survival of the fittest”, namun cerminan sikap “hewanis”, “barbariknis”,
dan “permanis” yang belum beradab. Pendidikan di era modern yang ideal pun
menekankan aspek belajar-belajar dengan pendekatan kognitif dan afektif (aktivitas
“otak”), ketimbang olah “otot”, dalam rangka memanusiakan dan memberadabkan
para peserta didik mereka.
Bila Tuhan yang masyarakat kita
sembah dan yakini, justru mempromosikan kekerasan fisik (bahkan dijadikan
perintah dalam ayat-ayat “wahyu”), maka bagaimana mungkin masyarakat kita
diharapkan mampu bersikap “humanis” alih-alih “premanis” dan “barbariknis”?
Bila yang disebut sebagai “Tuhanis” sebagai kompas pemandu para umatnya, telah
ternyata mengedepankan “otot” ketimbang “otak”, jadilah aksi radikalisme dan
intoleransi. Alhasil, masyarakat kita yang “agamais” menjadi menjelma demikian
kompromistis terhadap dosa dan maksiat, namun disaat bersamaan menjadi demikian
intoleran terhadap kemajemukan umat beragama bahkan antar sekte agama yang
sama.
Jika tokoh panutannya, dimana
sosok, perintah, serta watak dari Tuhan dijadikan patronase para umatnya,
terlebih jika meyakini, patuh, dan menjalaninya secara membuta, dilukiskan
sebagai demikian intoleran dan “haus darah”, menyelesaikan setiap masalah
dengan kekerasan fisik bahkan hingga pembunuhan dan pembantaian, membalas
apapun dengan pertumpahan darah, bahkan sekadar tidak meyakini sosok sang Tuhan
sudah menjadi alasan serta legitimasi untuk merampas hak hidup orang lain,
penuh kebencian dan permusuhan, anti kemajemukan (intoleran), maka apa yang
dapat kita harapkan dari mentalitas dan “standar moral” para umatnya? Kesemua itu,
adalah ekses dari sikap irasional yang tidak logis seolah-olah “otot” dapat
dipaksakan untuk berpikir layaknya “otak”. Mereka, berkeyakinan dengan “otot”
mereka, ketimbang menggunakan “otak” mereka.
Mereka juga menyebutkan bahwa
agama dan Tuhan mereka mengajarkan dan mengkampanyekan “perdamaian”. Jika ketika
mereka beribadah saja (berupa mengikuti perintah Tuhan) sudah demikian “haus
darah” dan intoleran, maka bagaimana ketika mereka tidak sedang beribadah? Jika
yang seperti berikut di bawah ini disebut sebagai ajaran “cinta damai”, maka
seperti apakah yang disebut “radikalisme” maupun “teror!sme”? Perhatikan ayat-ayat
yang menjadi “standar moral” baru umat manusia sebagaimana diusung oleh “Agama
DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA”, alih-alih “Agama SUCI”
yang bersumber dari “Kitab SUCI”, inilah ibadah para umat dari “Agama DOSA”
dimaksud:
- Umar Khattab, sahabat M terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar
mendekati BATU Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan
lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun
tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat rasul Allah
mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Bukhari, No. 680]
- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa
saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun,
maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘
Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap
kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama
dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan
menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.” [Note :
Siapa yang telah menzolimi siapa?]
- “Pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta
kaki mereka.” [Note : Itulah sumber “standar moral” baru bernama “balas dizolimi
dengan PEMBUNUHAN”.]
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada
para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka,
niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang
kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang
... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Kekerasan fisik, bahkan di-“halal”-kan
sebagai “halal lifestyle”, dimana
para pelakunya justru diberikan insentif berupa dimasukkan ke alam surgawi alih-alih
“punishment”. Ketika kita keberatan
diperlakukan secara tidak “manusiawi” oleh para manusia “agamais” tersebut yang
rajin beribadah dan berbusana serba “agamais”, seperti dijadikan korban
penganiayaan yang merugikan dan melukai fisik (terluka) maupun jiwa (traumatik)
kita secara tidak beradab dan tidak patut, maka berikut inilah contoh dialog
yang akan para “agamais” (pelaku kejahatan) tersebut jawab sebagai responsnya
tanpa rasa takut terlebih rasa malu:
“Masih
untung kamu tidak saya / kami BUNUH! Semestinya kamu cukup merasa bersyukur
masih kami biarkan hidup dan bernafas!”
“Jadi, saya
selaku korban Anda / kalian, harus mengucapkan ‘terimakasih’ begitu, karena tidak
sampai merampas juga hak hidup saya namun sekadar melukai dan menyakiti serta
merugikan fisik dan jiwa saya, seolah-olah itu hak kalian dan seolah-olah orang
lain tidak punya hak untuk tidak diperlakukan secara tidak manusiawi?!”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.