SENI JIWA
Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra
Menjawab
OVADA PATIMOKkHA, Itulah Ibadah dalam Buddhisme
Question: Bila dalam Agama Buddha, Apa yang menjadi ritual maupun ibadah para umat Buddhis?
Brief Answer: Perihal ritual, Sang Buddha telah pernah
berpesan, “Ritual tidak mensucikan diri
sang pelaku ritual”, karenanya ritual bukanlah esensi dalam Buddhisme,
ritual hanya didudukkan sebagai seremonial semata, bahkan sama sekali tidak
relevan dengan pencapaian kesucian para murid Sang Buddha, sekalipun pelaku
praktik ritual jungkir-balik dalam melangsungkan ritualnya. Buddhisme,
menekankan praktik perjuangan dalam latihan berkesinambungan secara nyata,
bukan ritual dan juga bukan jalan instan.
Tidak semua orang memiliki
kemauan maupun kesanggupan mental untuk menjalankan praktik latihan Buddhistik, meski sejatinya setiap individu
dapat menjadi pemeluk Agama Buddha. Jalan Buddhisme, lebih tepat disebut
sebagai serangkaian praktik latihan diri, alih-alih sebagai “ritual” maupun “ibadah”
yang tidak menyentuh langsung kehidupan konkret. Untuk bisa “melangit”,
seseorang harus terlebih dahulu “membumi”, dan itulah tepatnya cara para siswa
dalam budaya Buddhisme dalam berlatih diri. Menjalankan Dhamma, adalah bentuk
paling konkret penghormatan terhadap Sang Buddha, demikian Sang Buddha pernah
berpesan.
Adapun jalan praktik latihan Buddhistik, dapat
kita jumpai dalam “Ovada Patimokkha”,
yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni : 1.) tidak atau menghindari diri dari
melakukan kejahatan yang merugikan, melukai, ataupun menyakiti sesama umat
manusia maupun makhluk hidup lainnya; 2.) melakukan perbuatan bajik dengan niat
yang baik serta cara yang benar; 3.) memurnikan batin sendiri, alih-alih secara
“kepo” memaksakan agar orang lain seiman dengan kita, dan lebih berfokus
memerhatikan kedalam diri alih-alih keluar diri—terdengar seolah sederhana dan
sepele, sehingga kerap diremehkan, namun dalam fakta realita di lapangan
menunjukkan bahwa tidak banyak dinatara kita yang sungguh-sungguh mampu dan mau
menjalankan ketiga unsur jalan hidup Buddhistik tersebut secara konsisten dan
penuh komitmen.
PEMBAHASAN:
Bila keyakinan keagamaan
lainnya mengajarkan cara beribadah berupa (semudah dan seinstan) parktik ritual
sembah-sujud beberapa kali dalam sehari, atau melantunkan puja-puji koor secara
berjemaah yang cukup seminggu sekali sembari duduk di kursi yang nyaman, dimana
notabene kesemua orang dapat saja serta dapat dengan mudah saja menjadi seorang
“penjilat” (menjadi “penjilat”, alih-alih merasa malu, justru merasa bangga,
yang bahkan tidak jarang secara intoleran memaksa pihak lain untuk turut
melakukan praktik sembah-sujud serta menjadi “penjilat” seperti dirinya, seolah-olah
Tuhan membutuhkan “penjilat”, pujian yang menista Tuhan yang mereka sembah
sendiri). Memuliakan Tuhan, adalah dengan cara menjadi manusia yang mulia,
bukan dengan merendahkan martabat dan harkat seorang manusia menjadi serendah
seorang “penjilat”.
Prestasi satu-satunya bagi
kalangan “penjilat”, ialah mendapat predikat sebagai “penjilat” nomor kesatu,
dimana para “penjilat” tersebut berlomba-lomba menjadi “penjilat” yang paling
rajin “menjilat”—alih-alih merasa “malu” dan tabu menjadi “penjilat” demikian
vulgarnya yang bahkan dikumandangkan secara membahana lewat pengeras suara. Berkebalikan
atau bertolakbelakang dengan itu, ibadah dalam Buddhisme ialah perbuatan bajik
itu sendiri, dimana prestasi yang di-“kejar” oleh umat Buddhist ialah menjadi
seorang manusia yang “humanis” serta “baik” sesuai dengan tingkat kebajikannya
selama hidup untuk menilai derajat tingkat kebajikannya sebagai tolak-ukur seorang
umat.
Tidak semua orang sanggup
(sejatinya sanggup, namun tidak memiliki tekad maupun keseriusan melatih diri)
dan tidak semua individu memiliki kemauan (meski sanggup, namun tidak memiliki
komitmen) untuk menjalankan praktik latihan “Ovada Patimokkha” yang terdiri dari tiga jenis latihan yang
kumulatif sifatnya, dengan rincian sebagai berikut:
1.) Tidak melakukan segala
bentuk kejahatan;
Lebih banyak umat manusia yang memilih untuk berlomba-lomba
melakukan segala bentuk kejahatan—menjadi pendosa yang berbuat dosa, baik
berupa menyakiti, melukai, maupun merugikan—tidak malu dan tidak takut berbuat
dosa, bahkan bangga dan menjadikan dosa sebagai prestasi yang dibanggakan bukan
untuk ditabukan, dan menjadi pelanggan tetap iming-iming ideologi “korup”
bernama “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”. Karenanya,
mereka berpandangan bahwa adalah “MERUGI”, bila tidak mengoleksi setumpuk dosa,
menimbun diri dengan dosa, berkubang dalam dosa, dan mencetak segunung dosa
dengan demikian produktifnya.
Siswa Sang Buddha menjalankan praktik “ahimsa”,
sehingga senantiasa mawas diri dan penuh perhatian terhadap perbuatannya
sendiri. Dalam Buddhisme terdapat postulat : Penjahat yang paling beruntung,
ialah penjahat yang selalu gagal melakukan aksi niat jahatnya. Penjahat yang
paling sial ialah penjahat yang selalu berhasil melakukan segala aksi niat
jahatnya. Tidak ada yang dapat kita curangi dalam hidup ini, itulah pesan yang
dibawa oleh misi perdamaian dibalik pemahaman mengenai Hukum Karma.
2.) Senantiasa mengembangkan
kebajikan; dan
Lebih banyak umat manusia yang memilih cara
instan dan pragmatis, semata ingin semudah dan segampang meminta, tidak mau repot-repot
menanam benih perbuatan baik, semata lebih rajin meminta, memohon, serta
mengharapkan dengan tangan menelengkup ke arah atas, meminta dan mengemis—sekalipun
yang lebih hebat ialah yang tangannya menelungkup ke arah bawah, alias memberi—ibarat
memuja-muji raja yang tiran dan lalim, yang mana akan senang ketika dipuja-puji
lalu memberikan hadiah, dan disaat bersamaan akan pamer kuasa dengan memberikan
kesengsaraan ketika rakyat jelata yang tidak berdaya tidak menyembah-sujud sang
raja tiran.
Sementara itu asas meritokrasi serta egaliter
menyatakan, siapa yang lebih rajin menanam benih Karma Baik, maka mereka yang
lebih patut dan layak untuk memetik buah Karma Baik, dimana perbuatan masing-masing
individu semasa hidupnya akan menjadi warisan yang dipetik olehnya sendiri di
kehidupan mendatang, terlahir dari perbuatan sendiri, serta berhubungan dengan
perbuatan sendiri.
Sang Buddha menyatakan, apa yang kita nikmati di
kehidupan saat kini merupakan “nasi basi”—semata karena itu hanyalah buah dari
perbuatan baik kita di masa lampau yang saat kini kita nikmati, yang mana akan
habis juga bila kita terlena dan tidak segera menanam benih karma baik yang
baru. Prinsip ini menyerupai petani yang perlu menyisihkan hasil panennya
sebagai benih untuk masa tanam berikutnya, agar panen kebaikan berkesinambungan
sifatnya.
3.) Membersihkan batin.
Praktik latihan Buddhisme jauh
dari sifat-sifat maupun sikap-sikap yang merugikan orang lain maupun diri sendiri. Semisal meditasi, yang bahasa
lainnya ialah praktik ketenangan, keheningan, serta melepaskan, penuh oleh
bahasa kasih dan kedamaian yang universal sebagai objeknya. Bertolak-belakang dengan
cara ritual ataupun ibadah agama lain yang terkesan “norak”, “pamer”, minta
dihormati, minta dihargai, kompromistik terhadap maksiat dan dosa sementara
disaat bersamaan intoleran terhadap kaum yang berbeda.
Semboyan paling terkenal dari sabda Sang Buddha
ialah : Lebih mulia menaklukkan diri sendiri, daripada mengalahkan seribu
serdadu di lapangan medan perang. Pengendalian diri dari perbuatan buruk,
serta memiliki kepedulian terhadap diri sendiri dan semua makhluk hidup,
mengerucut pada terkikisnya kekotoran batin yang menutupi pandangan, sehingga
para siswa Sang Buddha mampu dengan lebih lancar untuk menembus keheningan
mendalam untuk dapat melihat segala sesuatu secara “apa adanya” dalam pandangan
yang terang, merealisasi pandangan cerah, pencerahan, serta tercerahkan
sempurna.
Ovada Patimokkha
Sabbapāpassa akaraṇaṃ
Kusalassa upasampadā
Sacittapariyodapanaṃ
Etaṃ buddhāna sāsanaṃ.
Khantī paramaṃ tapo titikkhā
Nibbāṇaṃ paramaṃ vadanti buddhā
Na hi pabbajito parūpaghātī
Samaṇo hoti paraṃ viheṭhayanto.
Anūpavādo anūpaghāto,
pātimokkhe ca saṃvaro
Mattaññutā ca bhattasmiṃ, pantañca sayanāsanaṃ
Adhicitte ca āyogo, etaṃ buddhāna sāsanaṃ.
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,
senantiasa mengembangkan kebajikan
dan membersihkan batin;
inilah Ajaran Para Buddha.
Kesabaran adalah praktek
bertapa yang paling tinggi.
“Nibbana adalah tertinggi”,
begitulah sabda Para Buddha.
Dia yang masih menyakiti orang lain
sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).
Tidak menghina, tidak
menyakiti, mengendalikan diri sesuai peraturan,
memiliki sikap madya dalam hal
makan, berdiam di tempat yang sunyi
serta giat mengembangkan batin
nan luhur; inilah Ajaran Para Buddha.
[Sumber: Dhammapada 183-184-185,
Syair Gatha.]
Bagi Anda yang kebetulan
berlatar-belakang Buddhisme, dan terdapat pihak-pihak eksternal yang bertanya
atau bahkan memandang rendah dan remeh Buddhisme, dapat menanggapi dengan cara
menjawab seperti berikut, agar mereka yang membangga-banggakan “Agama DOSA”-nya
dapat merasa malu mendengarnya dan menyadari agama manakah yang sejatinya lebih
superior dari segi spiritualitas dan mentalitas ajaran agama maupun cara hidup umatnya:
“Agama saya, Buddhist, memiliki
cara beribadah bernama ‘Ovada Patimokkha’ yang terdiri dari tiga elemen. Pertama,
menghindari perbuatan buruk. Kami, para Buddhisme, tidak pernah dengan korupnya
meminta pengampunan maupun penghapusan dosa. Hanya pendosa, yang membutuhkan
penghapusan dosa. Kami, para Buddhist, mengikuti jalan Agama SUCI dan Agama
Ksatria yang bertanggung-jawab atas setiap perbuatan kami, bukan melarikan diri
ke dalam lembah nista bernama pengampunan maupun penghapusan dosa. Tidak semua
orang, sanggup dan mau untuk menghindari diri dari perbuatan jahat lewat latihan
praktik pengendalian diri, setidaknya penuh tanggung-jawab alih-alih melarikan diri
dalam pengampunan dosa yang tidak adil bagi kepentingan pihak korban;
“Kedua, rajin menanam perbuatan
bajik. Kami, para Buddhist, bukanlah para pemalas yang hanya ingin seenak
dan semudah menjadi penjilat sebagai cara beribadah, meminta dan memohon
dengan mengemis-ngemis alih-alih merepotkan diri untuk menanam benih perbuatan
bajik. Tidak semua orang sanggup dan mau untuk merepotkan diri seperti kami,
para umat Buddhist; dan
“Ketiga, praktik melepas dan
keheningan yang damai dan penuh ketenangan. Meditasi yang kami latih, tidak
merugikan pihak manapun, tidak merampas kedamaian hidup pihak manapun, juga
tidak minta dihormati, minta dihargai, ataupun minta apapun. Kami tidak meminta
ataupun menuntut, kami melepaskan. Tidak semua orang sanggup dan mau untuk melepas
dan melatih ketenangan dalam keheningan mendalam. Umat agama lain sebaliknya,
norak dan menuntut dihormati, bahkan mengganggu serta merampas ketenangan hidup
maupun hak beribadah umat agama lain.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.