SENI PIKIR & TULIS
Manusia adalah Makhluk PENYAMPAH Penghasil SAMPAH
Bila Tidak mau Melestarikan, Setidaknya Tidak Merusak
Alam. Hanya Manusia Sampah yang hanya Mampu Menghasilkan Sampah
Kita hidup dari kebaikan hati planet bernama Bumi ini. Mulai dari air bersih, udara bersih, sumber pangan seperti sayur-sayuran, buah-buahan, maupun protein hewani dan nabati. Sumber papan dan sandang kita pun, diperoleh dari alam. Pepatah suku India menyebutkan, kita bukan mewariskan alam ini kepada anak dan cucu (generasi penerus), namun kita saat kini sedang meminjamnya dari mereka. Kebaikan hati, seyogianya dibalas dengan kebaikan hati, bukan justru “membalas air susu dengan air tuba” semacam pengrusakan, eksploitasi yang tidak ramah lingkungan, pencemaran, hingga praktik “menyampah”. Planet tempat kita lahir dan tumbuh serta dibesarkan ini, ibarat orangtua kita, “Mother Earth”. Janganlah, menjadi “anak” yang “durhaka”, dengan sikap maupun sifat “tidak tahu balas budi”.
Contoh sederhana berikut, dapat
mencerminkan betapa kultur masyarakat kita belumlah “environmentally friendly”, mulai dari produsennya, distributornya,
penjualnya, hingga konsumennya itu sendiri—tidak terkecuali proses muaranya
seperti sistem tempat pembuangan sampah akhir yang tidak memilah antara sampah
organik dan sampah anorganik, disamping sistem “open dumping”. Setiap kali penulis membeli makanan atau
buah-buahan, penulis selalu siap membawa kantung plastik sendiri, entah ketika
ke pasar tradisional maupun ke pasar retail. Bagaimana dengan Anda?
Kantung plastik, dapat dipakai
ulang sebagai kantung untuk membawa barang belanjaan, sebanyak belasan,
puluhan, hingga ratusan kali, ketimbang membiarkannya menjadi sampah yang sukar
terurai oleh tanah atau bisa jadi berlabuh ke sungai dan laut yang kemudian
mencemari mengganggu pemandangan disamping membunuh dan mencemari biota laut,
yang pada gilirannya satwa-satwa perairan air tawar maupun air laut tersebut
dimakan oleh manusia sehingga mengalami apa yang disebut keracunan “micro plastic” secara gradual dan
akumulasi selama bertahun kita mengonsumsinya sebagai puncak piramida rantai
makanan. Banyak penyu dan ikan paus, yang tewas akibat memakan plastik yang
mencemari lautan lepas—kita di daratan, yang telah secara tidak langsung menyiksa
dan “membantai” mereka.
Penulis sempat bertanya kepada
pedagang yang menjadi langganan penulis, apakah ada pelanggan lain ataukah
hanya penulis seorang diri, yang setiap kali berbelanja selalu membawa kantung
plastik sendiri dari rumah? Yang mengejutkan, inilah jawaban dari sang
pedagang, “Ya, hanya Bapak seorang, yang
selalu membawa kantung plastik sendiri dari rumah saat membeli di sini.”
Tampaknya memang benar begitulah kenyataannya, dimana setiap kali penulis
berbelanja, pada pedagang manapun dan dimanapun, hanya penulis seorang yang
menjadi satu-satunya konsumen yang membawa kantung plastik sendiri dari rumah.
Inilah yang kemudian tanggapan penulis kepada sang pedagang, “Padahal emak-emak banyak kantung plastik di
rumah, namun setiap kali berbelanja masih juga selalu meminta kantung plastik
untuk membawa pulang belanjaan?”
Mari kita melakukan kalkulasi,
bobot beban yang harus tanggung oleh alam dan lingkungan, terhadap “produksi
sampah” yang dilakukan oleh masyarakat kita yang dikenal berparadigma pragmatis
serta masih “udik” (mereka pikir plastik adalah sejenis daun pisang yang bisa
begitu saja dibuang dan dilempar ke sungai). Katakanlah, bobot paling minimum
sampah yang dihasilan satu orang warga per harinya, ialah satu ons (satu
kilogram setara sepuluh ons)—bahkan, tidak sedikit diantara tetangga di
lingkungan pemukiman penulis, yang setiap harinya menghasilkan sampah satu tong
sampah penuh, yang artinya berkilo-kilo “sampah domestik rumah-tangga”
diproduksi oleh masing-masing keluarga tetangga di lingkungan kediaman penulis.
Belum lagi kita berbicara
perihal limbah medis, limbah industri, limbah produksi para pelaku usaha / produsen,
sampah organik yang dibiarkan tercampur-baur dengan sampah anorganik
sampah-sampah yang sukar ditangani seperti kemasan styrofoam, kantung plastik
tidak ramah lingkungan, terutama sampah / limbah B3 (bahan berbahaya dan
beracun) seperti konsumsi dan sampah gadget (limbah elektronik beracun) seperti
handphone, komputer, televisi, dsb, yang sangat membebani lingkungan karena
disamping sukar terurai oleh alam juga mengandung senyawa atau zat yang
karsinogenik (beracun) sifatnya.
Oleh karena itulah, pemulung
barang bekas dapat kita sematkan gelar sebagai “pahlawan kelestarian
lingkungan”, karena mengurangi beban sampah yang harus ditanggung oleh
lingkungan hidup. Meski demikian, “front
liner”-nya tetap saja adalah masing-masing dari kita, selaku konsumennya (end users), harus bijak dalam
mengonsumsi, terutama tidak membeli produk-produk atau barang dagangan yang
tidak ramah lingkungan kemasannya atau yang lebih banyak potensi sampahnya
ketimbang isinya yang betul-betul kita butuhkan.
Pernah terjadi, keluarga
penulis membeli kue yang tampak “prestise”, karena mahal, dan kemasannya
“premium”. Ternyata, isinya hanya “secuil” dan habis dalam sekali lahap, akan
tetapi kemasannya benar-benar memakan ruang di tong sampah (lebih mahal kemasan
ketimbang isinya), membebani tukang sampah yang mengangkutnya, membebani truk
pengangkut sampah, membebani tempat akhir pembuangan sampah, serta membebani
lingkungan hidup. Kini, penulis sangat menghindari pedagang ataupun produsen
yang mengemas produk jualannya secara tidak ramah lingkungan demikian, salah
satunya kemasan styrofoam.
Katakanlah, total populasi
penduduk kita di Indonesia ialah dua ratus lima puluh juta rupiah, maka total
sampah per hari yang diproduksi masyarakat konsumen domestik rumah-tangga kita
ialah 250.000.000 X 1 Ons = 250.000.000 Ons = 25.000.000 Kilogram = 25.000 Ton! Jika dalam satu tahun terdapat 365
hari, artinya total per tahun produksi sampah konsumen domestik rumah-tangga
kita yang harus ditanggung dan membebani alam serta lingkungan hidup, ialah 365
X 25.000 Ton = 9.125.000 Ton. Bila rata-rata umur hidup penduduk kita ialah 75
tahun, maka rata-rata satu orang penduduk kita untuk seumur hidupnya
“bersumbangsih” dan “berkontribusi” memproduksi sampah untuk ditanggung alam
dan lingkungan hidup kita ialah 75 X 9.125.000 Ton = 684.375.000 Ton!
Bila kita bandingkan dengan
pertanyaan, sebanyak apa untuk seumur hidup kita, telah bersumbangsih positif
mengurangi beban lingkungan, dibandingkan dengan sampah yang kita produksi dan
campakkan ke Planet Bumi ini, apakah sebanding? Apakah proses daur-ulang
alamiah di alam oleh mikroorganisme mampu menanggung bobot sampah satu orang
manusia 684.375.000 Ton, dimana bahkan sampah plastik, styrofoam, elektronik,
polutan, kimia beracun, tidak mudah terurai dalam hitungan tahun, bahkan bisa
bersifat permanen, dalam artian bila kita biarkan sampah-sampah tersebut
dicampakkan atau dibenam di alam, maka belasan hingga puluhan tahun pun belum
akan terurai secara alamiah kecuali lewat proses rekayasa pelaku usaha dibidang
daur-ulang atau pemrosesan limbah B3 untuk diuraikan antar komponen dan zat
kimiawi penyusunnya agar tidak lagi beracun, yang tidak mudah, tidak murah,
serta kompleks sifat prosesnya, itu pun hanya sebagian kecil yang benar
diproses oleh instalasi pengolah limbah, dimana selebihnya dibuang begitu saja
ke sungai yang pada gilirannya menjadi sumber penyakit bagi warga sekitar
bantaran sungai.
Kita patut merenungkan serta
instrospeksi diri, sebenarnya untuk apa kita dilahirkan dan terlahir ke dunia
ini, hanya untuk merusak lingkungan dan memproduksi sampah secara demikian
produktifnya? Jika kita hanya sekadar singgah di dunia bernama Planet Bumi ini,
maka janganlah mengotori, datang dengan indah dan pergi pamit dengan indah. Daya
dukung lingkungan tidak akan mampu menanggung beban seluruh sampah yang kita
produksi sepanjang hidup kita, cepat atau lambat planet ini akan “tenggelam” dimana
kita pun akan turut “tenggelam” bersama dengannya. Diperkeruh oleh
pengkondisian yang tidak membatasi mereka yang tergolong kaum berpunya, untuk
mengonsumsi sebanyak apapun yang mereka kehendaki, yang pada muaranya ialah
kian masif tidak terbendungnya sampah-sampah yang mereka campakkan ke Bumi ini.
Patut kita ingat, sampah-sampah yang dihasilkan nenek-moyang kita, adalah
sebatas sampah organik semata.
Seakan belum cukup banyak
sampah dan limbah kita hasilkan, masih juga para “penyampah” tersebut
menghasilkan satu jenis sampah yang sebelumnya tidak kita kenal, yakni yang
kini kita kenal dengan istilah “HOAX”. Limbah “HOAX” sungguh tidak kalah
berbahaya dan mematikannya ketimbang limbah B3 lainnya. “HOAX”, baik pencetus
maupun penyebarnya, mampu menggeser atau membentuk opini publik secara sesat
yang menyesatkan, memprovokasi, mencelakakan, hingga menggerakkan massa untuk
tujuan yang negatif seperti “kampanye hitam” ataupun melahirkan sentimen
kesukuan dan agama. Derasnya arus informasi, tidak diiringi kebijaksanaan para
pemakai media massa konvensional maupun digital, sehingga terbukalah secara
lebar ruang penyalahgunaan para penggunanya yang belum cukup matang daya
berpikirnya (masih primitif, namun sibuk bermain gadget).
Bagi Anda ataupun kita yang
sepanjang hidup kita hanya mampu mencetak sampah, maka tepatlah bila
dianugerahi gelar sebagai “manusia SAMPAH”. Jika pelaku pembuat dan penyebar “sampah
digital” diberi julukan sebagai “spammer”,
maka penduduk dunia (global village) yang
“menyampah” patut kita namakan sebagai “manusia SAMPAH”. Bila kita memang tidak
mampu menghindari produksi sampah setiap harinya, sebagai bagian dari aktivitas
pasar jual-beli, mengingat kita bukanlah produsen berbagai bahan kebutuhan
pokok, maka setidaknya kita mampu berlatih mengendalikan diri dalam hal konsumsi,
menghindari budaya hedonisme, dan mulai membiasakan diri untuk “ramah
lingkungan” serta “perduli lingkungan” dengan menekan semininal mungkin sampah-sampah
yang kita hasilkan dan campakkan setiap harinya.
Bila kita tidak dapat
berkontribusi secara positif bagi lingkungan dan alam dunia tempat kita lahir,
hidup, dan bertumbuh besar, maka setidaknya kita tidak secara masif dan secara “masak
bodoh” berkontribusi secara negatif dan turut kian membebani Bumi ini yang semakin
berat menopang hidup kita. Wariskan sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan luhur
yang unggul bagi generasi penerus kita, bukan mewariskan gunungan tumpukan
sampah, polusi, polutan, cemaran, kerusakan, dan berbagai kepunahan sumber daya
air bersih, udara bersih, hayati, maupun satwa.
Kini, praktis hampir seluruh sayur-sayuran
dan buah-buahan hingga bahan pangan hewani yang kita konsumesi dikeseharian,
telah tercemari oleh berbagai polutan, mulai dari residu bahan kimiawi beracun,
mikro plastik, penyakit, dan lain sebagainya, yang karenanya menjadi tidak
logis bila kita mengharap dapat hidup sehat bilamana planet tempat kita hidup
jatuh sakit dan tidak dalam kondisi sehat, sakit-sakitan. Ketika alam ini “marah”,
dengan “batuk-batuk” seperti bencana alam kekeringan, banjir, gunung meletus,
gempa bumi, angin topan, hingga tsunami, maka umat manusia tidak berhak untuk
mengajukan komplain kepada dunia ini.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.