SENI PIKIR & TULIS
Ketika masih Minoritas, PLAY INNOCENT yang Menuntut Diberi Toleransi dan Menikmati
Kebebasan Beragama dan Beribadah. Namun, ketika Mereka telah menjadi Mayoritas,
justru Membumi-Hanguskan Toleransi antar Umat Beragama yang Dahulu Mereka Nikmati
dan Tuntut untuk Diberikan. Pola yang Sama Selalu Berulang, Peta Sejarah
Bahaya Dibalik STANDAR GANDA, Standar Berganda yang Sarat Konflik Kepentingan
Hukum tumpul ke mayoritas, dan hukum tajam ke minoritas, itulah cerminan budaya beragama di Indonesia serta dalam praktiknya yang kian hari kian mengkhawatirkan karena menampilkan wajah intoleran. Hampir setiap kali pemuka agama / penceramah agama Islam berceramah di Masjid, lengkap dengan pengeras suara eksternal sehingga “saksi telinga”-nya bukan hanya penulis seorang, bahkan juga suara pembacaan ayat-ayat kitab agama mereka menyeruak masuk ke dalam toilet kediaman rumah-rumah warga termasuk memenuhi tong sampah, selama bertahun-tahun lamanya, selalu saja mengumbar ujaran kebencian dan penuh permusuhan (hate speech) dengan menyebut-nyebut nama Yahudi dan Nasrani secara tidak hormat dan tidak patut. Gaibnya, tidak satupun dari mereka yang dipenjara sebagai pelaku penistaan agama, namun jangan tanya bila terjadi yang sebaliknya.
Penulis bukanlah seorang Yahudi
maupun Nasrani, namun merasa prihatin atas praktik penistaan agama demikian,
yang terjadi secara masif dan terjadi pembiaran oleh otoritas negara sekalipun
para intel pastilah disebarkan dan ditempatkan pada masing-masing Masjid untuk
memantau dan mengawasi ceramah para pemuka agama mereka, sehingga terkesan
memang seolah dilestarikan dan dipelihara oleh negara, setidaknya membiarkan bibit-bibit
radikalisme (ideologi kebencian dan permusuhan) bertumbuh.
Semestinya dan idealnya, lebih
etis bila umat maupun penceramah agama Islam (khotib, imam, atau ustad) cukup
membahas ajaran agama mereka sendiri, mengurusi agama mereka sendiri, tanpa
perlu menyebut-nyebut nama agama lain secara tidak hormat dan tidak patut,
bahkan penuh nuansa provokasi, kebencian, serta permusuhan, seolah-olah
menginjak-injak legitimasi Pancasila terutama Sila “Bhinneka Tunggal Ika”. Ternyata
seperti itulah, jargon yang selama ini digembar-gembor mereka sebagai “agamamu
(adalah dan biarlah) agamamu, agamaku (adalah dan biarlah) agamaku”, sekadar
jargon. Lain di mulut kala promosi, lain pula di hati dan di praktik, tidak
terkecuali jargon “cinta damai” sebagai kamuflase saat mereka menuntut diberi
toleransi untuk diberi ruang beribadah di negara-negara non-Muslim ataupun saat
menarik minat dan menghimpun para “mualaf”.
Mengingat Negara Indonesia saat
kini mayoritas penduduknya ialah pemeluk Agama Islam, maka muncul “wajah asli”
mereka dibalik topeng (persona) jargon “agama cinta damai”. Mereka kini begitu
memusuhi intoleransi dan kerukunan antar umat beragama, dimana bahkan umbaran
penuh kebencian dan permusuhan dikumandangkan secara vulgar, tanpa tedeng aling-aling,
orasi penuh provokasi, serta secara demikian eksplisit kepada para umatnya
bahkan lewat pengeras suara eksternal tempat ibadahnya yang membahana hingga
radius berkilo-kilo meter jaraknya, menyerupai propaganda perang para diktator
yang memanas-manasi para serdadunya untuk membabi-buta membantai mereka yang
musuhi.
Bila kita melihat video orasi
Adolf Hitler sang orator sekaligus diktator-provokator-otoriter, maka kita
menemukan banyak sekali kesamaan gaya orasinya dengan gaya berceramah para
pemuka agama mereka, alih-alih disebut sebagai ceramah yang semestinya
meneduhkan, menentramkan, menyejukkan, mengharmoniskan, mendamaikan,
mengheningkan, mendinginkan darah yang mendidih, tidak memanas-manasi, tidak
menyulut, tidak memprovokasi, serta tidak mengajak untuk membenci.
Sudah menjadi rahasia umum,
bilamana terdapat pihak-pihak yang menuduh penulis telah memfitnah, maka
silahkan penyidik bertanya kepada setiap warga setempat yang berlatar-belakang non-Muslim
untuk dimintakan keterangan dan kesaksian (“saksi telinga”) apakah juga
mendengarkan ceramah penuh umbaran kebencian dan permusuhan demikian setiap
kali pemuka Agama Islam berceramah, setidaknya menyebut-nyebut nama Yahudi
maupun Nasrani secara tidak hormat dan tidak patut, diskredit itu sendiri
terhadap agama-agama tersebut, yang pada pokoknya ialah menentang kerukunan dan
menolak keberagaman umat beragama di Bumi Pertiwi ini. Bagaimana bangsa ini
bisa “bersatu kita teguh”, bila pemuka agama mereka justru mengumandangkan dan
mempromosikan serta mengkampanyekan perpecahan, kebencian, serta permusuhan? Apakah
agama mereka tidak pernah mengajarkan, bahwa “bercerai kita runtuh”.
Bangsa yang baik, adalah bangsa
yang mengenal, mengetahui, memelajari, serta menghargai sejarah bangsanya
sendiri. Namun, para pemuka Agama Islam justru mencoba bergerak sebaliknya,
memungkiri sejarah betapa Nusantara pada mulanya ialah bercorak agama Hindu dan
Buddha sebagai agama resmi negara dan para rakyatnya (Buddhisme menyuburkan
Bumi Pertiwi sejak abad ke-5 hingga abad ke-15 sebelum kemudian masuknya Islam
dan melakukan pemberangusan kemajemukan, selengkapnya lihat Serat Jawa DHARMO
GHANDUL, karya sastra berbahasa Jawa sekaligus menjadi bukti bersejarah),
dimana para pemuka Agama islam dari Timur-Tengah diberi kebebasan dan toleransi
oleh Raja Majapahit yang beragama Buddha, untuk menyebarkan Agama Islam di
Nusantara.
Yang terjadi kemudian, ketika
Agama Islam menjadi mayoritas di Indonesia, pada tahun 2017 di Tanjung Balai,
seorang Tionghua-Buddhist bernama Meiliana yang sekadar komplain atas praktik
ritual para Muslim di Masjid pada lingkungan pemukimannya yang menimbulkan
“polusi suara” sehingga mengganggu ketenangan hidup umat agama lain yang juga
butuh beribadah secara tenang dan hidup hening bebas dari gangguan maupun
“polusi suara” (tanpa saling mengganggu), dimana yang dikomplain ialah
penggunaan speaker eksternal (toa), namun ribuan Muslim seketika itu juga
secara membabi-buta (apapun alasannya) “pendek sumbunya” membakari belasan
Vihara, merusak rumah kediaman Meiliana yang sejak semula ialah korban “polusi
suara” selama bertahun-tahun, hingga memenjarakannya dengan vonis “penistaan
agama”.
Apakah Agama Islam adalah
“Agama TOA”? Apakah ribuan tahun lampau saat Agama Islam lahir, dikenal adanya
barang elektronik dan kelistrikan semacam “Toa”? Menista “Toa”, sama artinya
menista “Agama Islam”? Bila komplain terhadap praktik ibadah umat Agama Islam
yang kerap menutup seluruh ruas jalan umum, sandal-sandal bertebaran di jalan,
juga disebut sebagai telah menista Agama Islam? Mengatasnamakan agama,
mengatasnamakan sedang beribadah, lantas apakah artinya dibenarkan menghalalkan
segala cara?
Seorang anak dari mantan pejabat
negara (anak sekaligus cucu dari mantan presiden RI) sekaligus anak dari pemimpin
partai politik terbesar di Indonesia, seorang Muslimah yang juga menjabat pada
jabatan politik tinggi di Indonesia, merupakan salah satu pemilik lisensi
waralaba “Buddha Bar”, yang jelas menista Agama Buddha. Bila agama yang
bersangkutan ialah “Agama Islam”, maka mengapa tidak mendirikan saja bar untuk
agamanya sendiri, yakni “Islam Bar”? Ketika umat Buddhist di Indonesia keberatan
atas pendirian “Buddha Bar”, alih-alih seketika menutupnya dan meminta maaf
telah menista “Agama Buddha”, sang pemilik lisensi waralaba “Buddha Bar” yang notabene
Muslim, justru menantang bahwa bilamana belum ada putusan pengadilan yang
memerintahkan untuk menutup “Buddha Bar”, maka mereka akan tetap beroperasi—yang
berarti tanpa rasa bersalah telah menista agama orang lain.
Beruntunglah Pengadilan Tata
Usaha Negara masih memiliki hati nurani dan menegakkan keadilan dengan
memerintahkan agar pemerintah segera menutup dan mencabut izin “Buddha Bar”. Ketika
kita balas dengan mendirikan “Islam Bar” atau “Muslim Bar”, dapat dipastikan
yang pertama kali komplain dan protes ialah umat Muslim, mengingat
pengunjungnya pastilah para non-Muslim yang datang sebagai pengunjung dengan
penuh arogansi melecehkan “Agama Islam” dengan bermaksiat ria di depan gambar
atau patung miniatur Ka’bah di dalam “Islam Bar”, seolah-olah dapat menginjak-injak
martabat “Agama Islam” persis di depan hidung Tuhan “Agama Islam”.
Seperti itu jugalah motif dibalik
niat jahat pemilik lisensi waralaba dan para pengunjung “Buddha Bar”. Mengapa
juga pemilik lisensi waralaba “Buddha Bar” tidak mencari dan mengunjungi “Islam
Bar” pada suatu negara di Eropa lalu membeli lisensinya, alih-alih “murtad”
dengan memasuki sesuatu yang berembel-embel “Buddha” (agama lain). Jangan
bersikap seolah-olah tidak ada bisnis lain yang bisa digeluti dan dikembangkan
di Indonesia. Mengapa harus “bar” yang konotasinya ialah “alkohol” dan lemahnya
kesadaran yang bahkan dipantang oleh Sang Buddha (pelecehan terhadap sosok,
nama, dan ajaran Sang Buddha)? Muslim dan Muslimah semacam apakah mereka, justru
membuka usaha dibidang MAKSIAT semacam “bar”? Rupanya, Muslim kompromistis
terhadap maksiat, namun intoleran terhadap kemajemukan. Jika memang “bar”
begitu hebatnya dan membanggakan, mengapa tidak membuka “Islam Bar” saja, alih-alih
“’Merek Agama Lain’ + Bar”?
Abad ke-15, para Muslim
menikmati toleransi beragama dari para Buddhist yang menerima mereka secara
toleran dan kompromistis, sehingga dapat masuk, berdakwah, dan menyebarkan
agama mereka di Nusantara. Kini, mereka membalas air susu dengan segala
intoleransi. Alhasil, para Muslim memiliki “hutang budi” dan “hutang darah”
kepada para Buddhist. Nusantara, kini bernama Indonesia, adalah Negara
Buddhist, bukan Negara Muslim, bila merujuk umur agama dan kontribusi serta
sumbangsihnya bagi Bumi Pertiwi dalam memakmurkan dan menyuburkan kehidupan
rakyatnya serta siapa yang sebetulnya “tuan rumah” dan siapakah yang
berkedudukan sebagai “penyerobot”. Ini, negeri bernama Indonesia, adalah negara
nenek-moyang milik para Buddhist!
Itulah sebabnya, Agama
Kristiani dapat tumbuh dan masuk bahkan di Negara Buddhist seperti Myanmar, dan
warganya hidup berdampingan secara rukun dengan para umat Buddhist. Namun,
Myanmar perlu belajar dari sejarah Nusantara, agar tidak menjadi Nusantara
Kedua—yang karenanya etnik Rohingya harus ditolak dan dikeluarkan dari Myanmar,
dimana bahkan Rohingya sendiri kemudian ditolak warga Aceh karena disebut
“negara miskin” serta membuat onar di Aceh, dimana Rohingya itu sendiri hanya
ingin bermigrasi ke negara-negara “kafir” semacam Australia dan Amerika
Serikat, tidak ke negara-negara Muslim sekalipun etnik Rohingya beragama Islam.
Sama halnya, para pengungsi perang di Suriah dan Afganistan, para Muslim,
memilih untuk hijrah ke Eropa, alih-alih ke negara-negara kawasan Timur-Tengah
lainnya.
Kini, tren terbarunya, di
negara-negara Eropa maupun Amerika Serikat, para Muslim menampilkan wajah
“humanis” sebagai “kedok” (persona), yang toleran dan “cinta damai”, semata
karena mereka masih menjadi minoritas. Mereka, dengan penuh senyum hidup
berdampingan dengan para Nasrani (agama mayoritas di kedua negara “kafir”
tersebut, istilah para Muslim), meski di Indonesia para khotib menyebut-nyebut
nama agama Nasrani dengan penuh kebencian, permusuhan, dan penistaan yang
intoleran.
Mereka, para Muslim di
negara-negara “kafir”, menuntut diberi toleransi dan kebebasan beragama, mulai
dari Uighur di China, Abu Sayaf di Filipina Selatan, Muslim separatis yang
kerap membunuhi para bhikkhu di Thailand Selatan, etnik Rohingya di Myanmar,
maupun para Muslim di negara-negara Barat. Bahkan, di Amerika Serikat, para
muslim mengundang para Kristen untuk masuk dan berkunjung ke Masjid, tentu
dengan menampilkan wajah humanis yang sangat-amat toleran. Tentu saja, para
khotib di negara-negara Barat hanya akan ceramah “cinta damai” sebagai
kamuflasenya, agar diterima dan diberi stempel sebagai “agama cinta damai”. Tunggulah
ketika mereka berhasil mendapatkan dan menikmati toleransi dan bertumbuh besar
menjelma mayoritas, wajahnya akan tidak berbeda dengan praktik para Muslim di
Tanjung Balai terhadap Meiliana.
Di Jepang, berdasarkan berita
yang dilansir stasiun rasio NHK, Masjid ditegur warga karena “berisik”, dan
para Muslim di Jepang yang masih minoritas, seketika melepaskan speaker
eksternal Masjid, alih-alih membakari Kuil Shinto maupun merusak dan
memenjarakan properti maupun warga yang mengajukan komplain dan protes praktik
ibadah para Muslim yang mengganggu ketenangan hidup warga agama lain—sedang
beribadah saja, mengganggu dan merugikan warga lain, bagaimana ketika tidak
sedang beribadah? Itulah, “standar ganda”, alias standar yang berganda. Jika mengaku
sebagai agama “cinta damai”, maka semestinya konsisten di negara-negara mayoritas
Muslim maupun di negara-negara minoritas Muslim. “Standar ganda”, cerminan dari
sifat picik, licik, munafik—namun mereka yang kerap “munafik teriak munafik”
dalam ceramah penuh ujaran kebencian yang juga dikumandangkan secara berteriak-teriak
via “toa”.
Apalah juga yang selama ini
mereka bela mati-matian dan bangga-banggakan, dimana jargon yang mereka
promosikan dan kampanyekan justru ialah kompromistis terhadap dosa dan
maksiat—namun disaat bersamaan intoleran terhadap kaum yang berbeda—apa lagi
jika bukan “pengampunan / penghapusan dosa”, dimana kita ketahui bahwa “hanya
seorang pendosa yang butuh pengampunan / penghapusan dosa” (abolition of sins, a sinner), seolah-olah Tuhan disebut “Maha Adil” justru karena PRO
dan memihak pendosa alih-alih mendengarkan suara jeritan dan aspirasi korban
para pendosa tersebut. Tidak heran bila para Muslim begitu tidak bersahabat terhadap
kalangan Korban, semata karena Tuhan mereka selama ini dicitrakan lebih PRO
terhadap PENDOSA (Pelaku Kejahatan). Karenanya, Korban hanya boleh diam bungkam
seribu bahasa bak mayat yang hanya dapat terbujur kaku, jika bersuara lantang
dan menjerit maka akan dibungkam lewat kekerasan fisik hingga membunuhnya
sembari membawa-bawa dan menyebut-nyebut nama Tuhan.
Mereka selagi masih sebagai
minoritas di negara-negara “Non”, akan menyembunyikan ajaran yang mengajarkan,
mengkampanyekan, mempromosikan, hingga memerintahkan untuk bersekutu dengan “dosa”
dalam rangka masuk alam “surgawi” (bagaimana mungkin, secara rasional seseorang
yang bersekutu dengan “dosa” sebagai “pendosa”, sebagai jalan menuju “surga”,
seolah-olah orang-orang jahat berhak memasuki alam surga yang dipenuhi pendosa?
Bagai air “comberan” yang hitam-pekat-bau hendak bersatu dengan air yang
murni-suci-bersih), sebagaimana ayat-ayat dalam “Agama DOSA” yang
bersumber dari sebuah “Kitab DOSA” berikut (alih-alih “Agama SUCI” dari
“Kitab SUCI”):
- Umar Khattab, sahabat M terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar
mendekati BATU Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan
lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun
tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat rasul Allah
mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Bukhari, No. 680.
Penyembah berhala teriak berhala.]
- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa
saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun,
maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘
Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap
kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama
dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan
menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.” [Note :
Siapa yang telah menzolimi siapa?]
- “Pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi,
ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki
mereka.” [Note
: Itulah sumber “standar moral” baru bernama “balas dizolimi dengan
PEMBUNUHAN”.]
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada para
malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka,
niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang
kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang
... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Barulah, ketika mereka telah
menikmati toleransi sehingga dapat tumbuh menjadi besar dan kuat, sebagai
minoritas menjelma mayoritas, mereka akan mengungkap, mengumandangkan,
mengkampanyekan, serta menjalankan perintah-perintah “pertumpahan darah” yang
intoleran sebagaimana perintah dalam ayat-ayat “Kitab DOSA” dari “Agama DOSA”
tersebut di atas. Jadilah, para pendosa yang “haus darah”, intoleran, radikal,
mudah tersulut, menjadikan kekerasan fisik secara cara untuk menyelesaikan
setiap masalah, anti serta memusuhi kemajemukan ataupun kebhinnekaan, penuh
teror, dan tidak segan merampas hak hidup kaum yang berlainan keyakinan agama
maupun berbeda sekte dengan mereka.
Di dalam keluarga mereka yang
moderat, dapat tumbuh potensi bibit-bibit teror!sme, sebagaimana latar-belakang
keluarga para pelaku aksi teror!sme rata-rata ialah kaum yang tergolong moderat.
Ketika salah satu anggota keluarga moderat tersebut menjalankan
perintah-perintah intoleran dalam Kitab Agama mereka secara fanatik, secara
absolut, patuh secara mutlak dan membuta, jadilah manusia-manusia yang
menyerupai “mesin pembunuh”, serta juga meyakini bulat-bulat ideologi “korup”
berupa iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa”, maka akan memiliki
paradigma bahwa “RUGI tidak berbuat dosa, memproduksi dosa, menimbun dosa,
berkubang dalam dosa, berlumuran dosa, mengoleksi dosa”—menjadi pendosa sekaligus
seorang radikal tulen.
Bibit tersebut begitu
kasat-mata, dapat kita dengar setiap kali pemuka agama mereka berceramah lewat
pengeras suara eksternal tempat ibadah mereka, salah satunya ialah provokasi
yang “mengkafir-kafirkan” (ideologi takfiri), dimana bila ada satu atau dua
umat moderat yang “termakan” dan “terprovokasi”, jadilah semula “umat moderat”
yang masih cukup toleran menjelma fanatik yang radikal. Sehingga, sifatnya
laten, bisa anak dan bisa juga dari cucu dari sang “umat moderat”. Menurut pendapat
dari seorang mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror!sme (BNPT), Ansyaad
Mbay, ciri mudah mengidentifikasi seseoang yang telah terpapar ideologi
radikalisme-teror!sme, ialah kerap “mengkafir-kafirkan”. Bagaimana dengan umatnya,
bila pemuka agamanya saja kerap “mengkafir-kafirkan” ketika berceramah secara
penuh kebencian dan permusuhan? Alih-alih disebut sebagai “ceramah”, lebih
tepat disebut sebagai “doktrinisasi (cuci otak) kebencian dan permusuhan”.
Setiap kali pemuka agama mereka
berceramah, sebagaimana dapat kita dengar sendiri lewat “polusi suara” dari
speaker eksternal tempat ibadah mereka, pada hari besar agama mereka, ceramah
rutin mingguan ataupun kegiatan ceramah dadakan lainnya, ataupun ketika ada
diantara umat mereka yang meninggal dunia, ceramahnya ialah selalu
mengulang-ulang seputar umbar (obral) “pengampunan / penghapusan dosa”,
“mengkafir-kafirkan”, “Yahudi dan Nasrani”, ataupun segala bentuk
“jilat-menjilat” lainnya seolah Tuhan adalah “raja yang lalim”—raja mana akan
senang bila dipuja-puji sembah sujud dan akan murka bila tidak dilayani “lip services” (mereka menyebutnya
sebagai “melayani” Tuhan, beribadah dengan cara “menjilat-jilat”, menjadi “PENJILAT
PENUH DOSA” semestinya merasa malu alih-alih merasa bangga dan superior (yang
delusif) bila dibanding pemeluk agama lain).
Mereka tidak memahami,
memuliakan Tuhan bukan menjadi seorang “PENDOSA dan PENJILAT”, namun dengan
cara menjadi manusia yang “MULIA”. Bapak Presiden kita saja mencari kabinet
menteri “KERJA”, bukan anggota kabinet yang berisi menteri-menteri “PENJILAT
TIDAK TAKUT DOSA”. Buat dosa, siapa takut?!
Semua orang sanggup dan mampu dengan mudahnya menjadi seorang “penjilat”, dan
apakah sukarnya menjadi seorang “penjilat”? Bandingkan dengan ibadah Buddhisme,
yang bukan aksi “jilat-menjilat”, namun berupa “Ovada Patimokkha” yang tidak akan sanggup dijalani oleh para Muslim,
yakni:
Ovada Patimokkha
Sabbapāpassa akaraṇaṃ
Kusalassa upasampadā
Sacittapariyodapanaṃ
Etaṃ buddhāna sāsanaṃ.
Khantī paramaṃ tapo titikkhā
Nibbāṇaṃ paramaṃ vadanti buddhā
Na hi pabbajito parūpaghātī
Samaṇo hoti paraṃ viheṭhayanto.
Anūpavādo anūpaghāto,
pātimokkhe ca saṃvaro
Mattaññutā ca bhattasmiṃ, pantañca sayanāsanaṃ
Adhicitte ca āyogo, etaṃ buddhāna sāsanaṃ.
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,
senantiasa mengembangkan kebajikan
dan membersihkan batin;
inilah Ajaran Para Buddha.
Kesabaran adalah praktek bertapa yang paling tinggi.
“Nibbana adalah tertinggi”, begitulah sabda Para Buddha.
Dia yang masih menyakiti orang lain
sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).
Tidak menghina, tidak menyakiti, mengendalikan diri sesuai peraturan,
memiliki sikap madya dalam hal makan, berdiam di tempat yang sunyi
serta giat mengembangkan batin nan luhur; inilah Ajaran Para Buddha.
[Sumber: Dhammapada 183-184-185.]
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moeril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.