SENI PIKIR & TULIS
Agama yang Merendahkan Martabat Manusia dan Pujian
yang (Sejatinya) Menista Tuhan yang Mereka Sembah Itu Sendiri
Penjajahan oleh Agama atas Manusia, Agama untuk Manusia ataukah Manusia untuk Agama?
Buddhisme bukanlah agama bagi para “peminta-minta”, sehingga tidak menjadikan para siswa Sang Buddha sebagai seorang pengemis yang mengemis-ngemis ataupun memohon-mohon—akan tetapi sebagai bak seorang penanam atau seorang petani, sehingga bila hendak atau menginginkan untuk memetik buah padi maka harus mau merepotkan diri serta menyingsingkan lengan baju berletih-letih banjir peluh turun ke sawah untuk menanam dan memupuk serta merawatnya dengan penuh kesabaran sebelum tiba masa panen. Itulah sebabnya, para siswa dari Sang Buddha adalah para pekerja keras serta bukanlah seorang pemalas yang merendahkan martabatnya sendiri dengan menjadi seorang “pengemis” (serta “penjilat” ala “lip services”).
Sebaliknya pula, Sang Buddha
tidak menjadikan para siswa-Nya sebagai seorang pengecut ataupun pecundang yang
hanya berani melarikan diri secara tidak bertanggung-jawab atas setiap tindakan
dan perbuatannya. Buddhisme, dengan demikian, melatih serta menempa para
siswa-Nya menjadi para ksatria dan seseorang individu atau pribadi yang penuh
tanggung jawab baik terhadap diri orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.
Tidak ada yang dapat benar-benar kita curangi dalam hidup ini, itulah “hukum
tabur-tuai” yang kerap dikonotasikan sebagai “Hukum Karma”, alias hukum perihal
sikap atau cara hidup yang egaliter dimana semangat meritokrasi menjadi
panglimanya. Prinsip-prinsip tersebutlah, yang kini dikenal sebagai prinsip
bangsa beradab.
Sebagai konsekuensi dari
paradigma berpikir yang bertopang pada pilar bernama jiwa meritokrasi serta “spirit” egalitarian, maka bila terdapat
satu atau dua orang umat yang hidupnya miskin, penuh diskredit, terdegradasi,
bersenjang demikian lebar, hanya dapat hidup di “selokan”, maka kesemua itu
adalah “akibat” dimana menjadi dampingan konsekuensi logis dari “sebab” yang
mendahuluinya. Tiada “akibat” tanpa didahului oleh suatu “sebab”, demikian Sang
Buddha menguraikan.
Memahami hal demikian, kita
tidak menyalahkan siapapun, juga juga tidak menyalahkan Sang Buddha,
dimana kita hanya dapat melakukan introspeksi diri serta bertekad untuk hanya
menanam benih perbuatan baik pada kehidupan saat kini sebagai modal kita di
kehidupan mendatang. Karenanya, kita yang paling bertanggung-jawab atas hidup
kita sendiri. Anda sendiri yang meminta dilahirkan “melarat” pada kehidupan
masa kini, bila perbuatan Anda di masa kehidupan lampau amat kikir serta kerap
merampas hak milik orang lain.
Menjadi berlainan serta kontras
berjarak, bila konteks pembicaraan kita ialah agama samawi, dimana kesemua
ialah pemberian, kuasa, kehendak, rencana, cobaan, atau istilah lain
sejenisnya, dari sosok adikodrati yang mereka sebut sebagai “Tuhan”. Bila
terdapat seorang umat pemeluk agama samawi, mendapati dirinya demikian
kurus-miskin-melarat-jelek-bodoh, maka dirinya secara tidak berdaya menemukan
dirinya sebagai “korban keadaan” pasrah dilahirkan demikian tanpa dapat memilih
ataupun menjadi arsitek untuk merancang nasib hidupnya sendiri, atau sebaliknya
mengutuk, komplain, mengeluhkan, memaki, ataupun kian memohon dan
mengemis-ngemis kepada sesosok adikodrati bernama “waiting for Godot”.
Begitupula ketika terjadi gempa
bumi, gunung meletus, tsunami, badai topan, yang meluluh-lantakkan properti
atau hingga bahkan merenggut korban jiwa dirinya atau sanak-keluarganya, maka
lagi-lagi yang dipersalahkan, ditunjuk hidungnya, ataupun yang dimintakan
pertanggung-jawaban ialah sosok yang mereka sebut sebagai “Sang Maha Kuasa”,
sebagaimana istilah Bahasa Inggris untuk peristiwa bencana alam ialah “the act of God”, sekalipun adalah
alamiah saja bila bumi ini mengalami berbagai fenomena alam yang tunduk pada
Hukum Alam sekalipun tanpa keterlibatan Tuhan, namun “by nature” alias sudah menjadi sifat alamiahnya Bumi ini yang terus
bergerak, sebagaimana pula kehidupan manusia diatur oleh Hukum Karma sehingga
tidak lagi butuh keterlibatan tangan Tuhan (agnotisme).
Dapat kita bayangkan, betapa “kurang
kerjaan” (pujian yang menghina martabat Tuhan) bilamana miliaran unggas di
dunia ini harus pula setiap harinya diatur oleh Tuhan, seperti berapa butir
telur ditelurkan oleh bebek yang satu dan bebek yang lainnya, belum lagi burung
puyuh, ayam, dsb, setiap harinya. Bahkan, digambarkan bahwa Tuhan pun menjadi “mafia
pengatur skor pertandingan sepak bola” yang semestinya cukup dibiarkan terjadi kompetisi
secara adil dan fairness antar pemain
di lapangan tanpa campur tangan “the
invisible hand”. Tidak terhitung jumlah daun-daun berguguran dan meranggas
di seluruh penjuru dunia, kesemua itu diatur pula oleh Tuhan akan jatuh ke arah
mana dan daun pada ranting yang mana yang akan gugur daunnya? Tidak heran bila umat
manusia kerap sesumbar, Tuhan tidak boleh tidur. Tuhan yang tidur, langit akan
runtuh, matahari tidak akan terbit kembali, dan segala spekulasi lainnya. Manusia
yang tersandera oleh Tuhan, ataukah Tuhan yang tersandera oleh manusia? Betapa malangnya
Tuhan, tidur sejenak atau sekadar cuti satu hari pun tidak kita izinkan.
Banyak sekali akibatnya kita
jumpai fitnah serta penistaan terhadap sesosok agung yang mereka sembah dan
mereka namakan sebagai Tuhan. Sebagai contoh, mereka menyebut Tuhan mereka
sebagai “Maha Tahu”, namun digambarkan sebagai masih pula dengan bodohnya bak “profesor
ling lung” mencoba-cobai umat manusia, sekalipun umur umat manusia sudah sama
tuanya dengan usia Planet Bumi ini. Mencobai ciptaannya sendiri,
seolah-olah makhluk hidup diciptakan oleh Tuhan yang lain selain Tuhan yang
kini sedang mencoba-cobai. Ketika gagal mencipta dan mencobai, sang produk
ciptaan yang dipersalahkan dan dilempar ke tong sampah raksasa bernama “neraka”.
Itulah tujuan awal Tuhan menciptakan neraka, untuk aksi “cuci tangan” serta
menyingkirkan produk-produk gagal ciptaan-Nya sendiri.
Neraka, justru merupakan atau
sebagai monumen kegagalan Tuhan dalam proses mencipta sekaligus tugu peringatan
betapa tidak benar-benar berkuasanya Tuhan atas umat manusia—sebagaimana kata
pepatah, bukan salah bunda mengandung, bila seorang anak dilahirkan dengan
segala potensi laten sikap dan sifat-sifat bawaannya, namun salahkan “grand design” Sang Pencipta. Gagal dalam
menciptakan manusia yang dijadikan “kelinci percobaan”, lantas nyawa umat
manusia bagaikan seonggok sampah yang tidak bernilai dilempar ke tong sampah
raksasa, bernama neraka, tempat Tuhan “cuci tangan” dan melempar tanggung jawab
atas kegagalannya sendiri saat proses penciptaan.
Disebutkan pula, dosa manusia
pertama akibat gagal menghadapi godaan Tuhan, sekalipun sang manusia pertama
diciptakan lengkap dengan “software”
berupa jiwa pembangkang dan rasa ingin tahu yang besar, dimana sekalipun iklan
pariwara telah berpesan, “Untuk anak
sendiri, DICOBA-COBA!” Jangan salahkan yang menginjak “ranjau”, persalahkan
yang menaruh “ranjau darat” itu. Melarang dan larangan, akan timbul perlawanan
dan pemberontakan. Bagaimana mungkin, Sang Pencipta tidak paham sifat dan
karakter dari ciptaannya sendiri lengkap dengan segala kekurangan, sifat
pembangkan, dan segala cacat mentalnya? Jika Sang Pencipta adalah sempurna,
bagaimana mungkin menghasilkan ciptaan yang penuh cacat dan tidak sempurna? Hanya
Tuhan yang (boleh) sempurna, jika begitu jangan salahkan manusia yang jauh dari
sempurna.
Bahkan, Tuhan mereka posisikan
sebagai sesosok yang demikian rapuh, tidak berdaya, dan yang terparah ialah :
mudah ditampar wajahnya serta “dipecundangi” sehingga harus memaki-maki dan mengutuki
umat manusia yang tidak bersedia mengobral jiwa untuk menyembah diri-Nya.
Bagaimana tidak, sebagai contoh, bila Anda memilih menjadi umat yang meyakini
keyakinan keagamaan yang lain, dengan menjadi seorang NON, atau bahkan memilih
untuk menjadi seorang ateis, dan tidak takut atas segala ancaman akan dilempar
ke “neraka jahanam”, dengan tidak menjadikan diri kita sebagai umat manusia
sebagai budak yang menjilat-jilati sesosok raja tiran yang senang ketika
disembah-sujud dan akan murka serta pamer kekuasaan (berupa siksaan dunia
maupun akherat) bila tidak dipuja-puji, maka sama artinya Tuhan telah
dikalahkan serta dipecundangi oleh umat manusia alias ciptaannya sendiri. Tuhan
yang dapat memenjara tubuh fisik umat manusia, namun tidak atas pikiran dan
jiwa umat manusia, maka pada saat itu pulalah Tuhan telah kalah dalam
peperangan kolosal yang tidak pernah usai antara “Tuhan Vs. Manusia”.
Tuhan digambarkan sebagai sosok
yang lebih PRO terhadap pendosa, dan tidak humanis (terlebih Tuhanis) terhadap
kalangan korban yang bahkan tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasi
maupun hak-haknya. Korban, diposisikan untuk hanya boleh bungkam, bak seonggok
mayat yang hanya dapat terbujur kaku diperlakukan secara tidak adil seperti
apapun oleh Tuhan maupun oleh manusia lainnya. Bagaimana tidak, Tuhan mengobral
amnesti serta abolisi bernama “abolition
of sins” alias “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”
(kepada PENDOSA, tentunya), dimana bila kiblat umat manusia itu sendiri telah
ternyata mengkampanyekan sikap hidup maupun mempromosikan gaya berpikir
“korup”, maka tidaklah heran bila kini umat manusia berlomba-lomba mengoleksi
dosa, menimbun diri dengan dosa, mengumpulkan dosa hingga menggunung, berkubang
dalam dosa, semata karena “rugi tidak menjadi pendosa”.
Bila dahulu kala, sebelum agama
samawi lahir, tiada penjahat ataupun orang jahat yang yakin akan masuk surga
setelah ajal menjelang. Kini, Tuhan digambarkan sebagai sesosok yang
kompromistis terhadap dosa maupun maksiat, namun disaat bersamaan tidak toleran
terhadap kaum yang memilih untuk memeluk keyakinan yang berlainan. Yang membedakan antara hewan
dan manusia, ialah akal-budi. Ketika seseorang manusia tidak lagi takut berbuat
dosa, “buat dosa, siapa takut?”, “rugi tidak berbuat dosa”, maka “standar
moral” manusia terdegradasi dari bangsa beradab menjelma bangsa biadab. Gaibnya,
dahulu kala disebut sebagai “zaman jahiliah”, dan saat kini dimana agama samawi
menguasai dunia justru disebut sebagai “zaman pencerahan” dimana para pendosa berlomba-lomba
mengkoleksi serta memproduksi dosa?
Maka, ketika seorang umat agama
samawi mendapati dirinya memiliki kesenjangan sosial dan ekonomi terhadap umat
lain yang seagama dengannya, dan sang umat yang melarat-kurus-miskis-dekil ini
masih juga menyembah Tuhan yang tidak adil mendistribusikan kekayaan ekonomi
yang kini kian senjang antara “si kaya” dan “si miskin”, bahkan masih juga menyembah
Tuhan yang menghapus dosa-dosa para bajingan yang menjadikan sang umat sebagai
korbannya, maka itulah yang disebut sebagai “konyol” alias menyembah kekonyolan
dan menjadi umat dari “agama konyol”. Umat manusia terbukti berjuang melawan
diktatoriat Tuhan, meski tidak mereka akui. Sebagai contoh, dibentuk lembaga
semacam Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dalam rangka mengintervensi mekanisme
pasar yang disebut oleh Adam Smith, Bapak dari paham liberalisme, sebagai
dikendalikan oleh “the invisible hand”—tangan
tidak terlihat milik siapa, jika bukan merujuk pada kuasa dan rencana ataupun
kehendak Tuhan itu sendiri?
Memakan, atau dimakan, pilih
yang aman? Prinsip utama yang berlaku dalam agama samawi, dan bila Anda adalah
umat dari agama samawi ialah : RUGI bila Anda tidak menjadi seorang pendosa,
dan adalah RUGI bila Anda menjadi korban alih-alih sebagai pelaku kejahatan.
Itulah, yang kita sebut sebagai era dimana tumbuh subur fenomena “manusia
menjadi serigala bagi sesamanya” (seperti yang saat kini Anda saksikan). Adapun
kekonyolan dan kemustahilan paling utama dan paling kontras dari agama samawi,
dimana para umatnya merupakan pelanggan / penyembah ideologi korup semacam “penghapusan
/ pengampunan dosa” ataupun “penebusan dosa” (dimana hanya
pendosa yang butuh pengampunan / penghapusan dosa), maka bagaimana mungkin
seorang pendosa hendak berceramah perihal kesucian dan bersikap hidup yang
baik? Bila Anda menjadi korban kejahatan, dimana pelakunya ialah umat agama
samawi, yang tidak pernah malu ataupun takut berbuat jahat (bahkan bangga),
kemanakah Anda melapor dan mengadu, kepada Tuhan yang jelas-jelas lebih PRO
terhadap pendosa?
Bila dalam Buddhisme, menanam
kebaikan maka berbuah kebaikan, apapun agama Anda atau sekalipun Anda tidak
beragama; maka dalam agama samawi Anda akan tersandera oleh pertanyaan klise
berikut : Siapakah yang dapat memasuki alam surgawi, apakah dimonopoli oleh
agama Anda, ataukah kaum NON pun dapat masuk surga asalkan selama hidupnya
banyak berbuat kebajikan? Sebagai penutup dari penulis, meski bukan yang paling
akhir, bila Anda tidak dapat memilih agama yang Anda yakini dan peluk,
artinya Anda telah menjadi korban dari agama yang Anda peluk itu sendiri. Agama
semestinya membebaskan Anda, bukan justru merampas kemerdekaan Anda, itulah parameter
menilai baik atau buruknya suatu keyakinan keagamaan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.