SENI PIKIR & TULIS
Cuci Uang dalam Rangka Cuci Dosa secara Berjemaah
Disebutkan, bahwa bunga dari suatu hubungan hukum pinjam-meminjam sejumlah dana, kredit, pembiayaan, atau apapun itu sebutannya, adalah “riba”, dimana “riba” merupakan “haram”, dan “haram” adalah terlarang untuk dimakan. Namun, dari realita di lapangan, kerap kita jumpai kaum Muslim yang justru bekerja di lembaga-lembaga keuangan perbankan non-syariah, yang artinya sumber gaji mereka ialah dana “haram” dari bunga yang harus dibayarkan oleh nasabah peminjam (debitor) perbankan tempat mereka bekerja dan mencari nafkah. Bagaimana dengan bank syariah, apakah lebih bersih dan humanis? Jusuf Hamka, tokoh Muslim nasional, menyebutkan bahwa “bank syariah lebih kejam daripada bank konvensional”.
Artinya pula, mereka, para
Muslim yang bekerja mencari nafkah dan menggantungkan hidupnya dari lembaga
keuangan perbankan non-syariah, telah bersikap kompromistis terhadap “maksiat”
itu sendiri, yakni “riba”, menghidupi diri dari “riba”, memberikan makan anak
dan keluarga dengan “riba”, menagih “riba”, memungut “riba”, mengumpulkan “riba”,
serta bergantung dan berhutang budi dari “riba”, tidak terkecuali memperkaya diri
dari “riba”. Bila para Muslim tersebut merupakan para idealis terhadap agama
yang mereka anut dan peluk, semestinya mereka bersikap konsisten dengan hanya
mencari pekerjaan serta berkarir pada perusahaan-perusahaan berembel-embel
syariah alih-alih berkarir dan membangun bank umum hingga menjelma raksasa
korporasi.
Belum lagi kita berbicara
perihal nasabah penabung maupun nasabah peminjam berbagai perbankan non-syariah
di Tanah Air, yang sedikit atau banyaknya menikmati keuntungan berupa bunga
dari tabungan atau membayar bunga dari pinjaman dana kredit, dimana bahkan mayoritas
diantaranya ialah para kaum Muslim dan Muslimah, yang setiap harinya menyesaki
dan rela antri berjam-jam menunggu dilayani oleh pihak petugas perbankan
non-syariah. Bila para Muslim berpantang makanan “haram” tanpa kompromi, namun
mengapa perihal nafkah, para Muslim justru demikian kompromistis—serta disaat
bersamaan tidak toleran terhadap kaum yang bebedda keyakinan?
Bila kita membuat paradigma
perihal konversi, sumber upah / gaji para Muslim yang menjadi pegawai atau
pejabat bank umum disertai profit usaha dari “riba” yang menjadi sumber
pembiayaan bagi usaha pihak perusahaan tempat mereka bernaung dan bekerja, maka
“riba” dikonversi menjadi sejumlah uang, lalu didistribusikan sebagai upah bagi
para pegawai bank. Karenanya, gaji atau upah para Muslim yang selama ini
bekerja di bank umum, adalah uang yang “kotor” alias tidak bersih, dikotori dan
terkotori oleh “riba” yang “haram” untuk dimakan.
Dibelikan untuk membeli apapun “sumber
dana riba” yang mereka peroleh selama bekerja di bank umum, entah membiayai
sekolah anak, mencicil kredit rumah, membeli makanan, membeli pakaian, didermakan
ke lembaga amal non-profit, kesemua itu telah tercemar ala “nila (haram) setitik,
rusak susu (upah) sebelanga” dimana bahkan semua upahnya ialah bersumber dari
pemasukan lewat profit usaha perbankan berwujud “riba” dari para nasabahnya. Mereka
bahkan memakan “haram” yang bersumber dari dana “haram” berupa “riba”, selama
belasan hingga puluhan tahun, bahkan hingga mereka dipensiunkan.
Lewat tangan-tangan mereka
pula, para muslim yang bekerja pada dan bagi kepentingan perbankan non-syariah
mencetak profit atau laba usaha yang bombastis yang merajalela di setiap ruas
jalan di Ibu Kota, mencari untuk dipungut sejumlah “riba”, dikumpulkan, sebelum
kemudian dimakan dan menafkahi kelurga mereka setelah dialih-wujudkan menjadi
upah yang didistribusikan kepada pekerja dan pejabat bank. Fenomena demikian
sama lucunya ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI), wadah organisasi kaum Muslim
terbesar di Indonesia, menerbitkan “fatwa haram” bagi para muslim untuk memakai
busana berbau atau bernuansa Natal, mengucapkan selamat Natal, namun disaat
bersamaan menikmati libur hari raya Natal, meminta angpao saat hari raya Imlek,
dan segala inkonsistensi lainnya.
Kaum Muslim kemudian membuat
pembenaran diri, lewat “alasan pemaaf” berupa apa yang mereka sebut sebagai “zakat”
sebesar 2,5% dari penghasilan mereka yang kotor itu, maka yang “haram” pun
mereka anggap telah menjelma sebagai “bersih” disamping “halal”. “Zakat”,
menurut pemuka agama mereka, disebut sebagai sarana “cerdik” (sekaligus “licik”)
untuk “membersihkan uang penghasilan seorang Muslim”, karenanya menjadi “halal”
untuk dimakan. Lantas, pertanyaan penulis untuk paradigma “korup” yang penuh
kecurangan demikian ialah, apa dan dimana lagi perbedaan antara “zakat” dan “money laundring” itu sendiri?
Bila “zakat” yang hanya senilai
2,5% (dua koma lima persen) dari penghasilan kotor seorang Muslim—istilah harfiah,
penghasilan yang “kotor” karena dikotori oleh anasir-anasir “haram”—maka
mengapa tanggung-tanggung sekadar memakan “riba”? Mengapa tidak mencari dana
kotor yang lebih besar seperti korupsi, menipu, mencuri, dan lain sebagainya,
daripada sekadar “riba”? Bukankah fungsi “zakat”, memang untuk membersihkan
penghasilan seorang Muslim, lebih tepatnya sang muslim yang kompromistis
terhadap “maksiat”?
Apalah artinya “recehan”
senilai 2,5%. Katakanlah seorang koruptor mengkorupsi “uang rakyat” senilai Rp.
100.000.000.000. Maka, sang koruptor ketika berhasil melakukan korupsi dalam
senyap, sang koruptor akan dapat menghimpun dana bersih Rp. 100.000.000.000 - Rp.
2.500.000.000 = Rp. 97.500.000.000. Sementara itu, recehan senilai Rp. 2.500.000.000,
sekalipun dijadikan dana untuk zakat, tetap saja rakyat yang menjadi korban
korupsi akan dijerat lingkaran kemelaratan karena hanya diberikan “recehan”. Sementara
itu, sang koruptor, yang mengantungi “dana bersih hasil korupsi” (bayangkan, uang
kotor hasil korupsi bisa dicuci bersih dengan “deterjen”), sekalipun telah
membayar “zakat”, tetap saja kaya dan makmur. Korban, selalu tersudutkan, di
dunia dan di akherat.
Dimana pelaku yang memeluk
ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, akan selalu
menang dan bersenang-senang di atas derita para korban mereka—dimana mereka,
para pendosa tersebut, bermandikan dosa, berkubang dalam dosa, berlumuran dosa,
menimbun diri dengan dosa, mengoleksi segunung dosa, dan produktif mencetak
berbagai dosa sepanjang hidupnya, dengan berani dan penuh keyakinan, tanpa rasa
takut terlebih rasa malu, dan tetap pada keyakinannya akan masuk surga setelah
ajal menjelang, semata karena para pelaku kejahatan dan maksiat (pendosa) tersebut
meyakini dan mengimani versi Tuhan yang lebih PRO terhadap pendosa alih-alih versi
Tuhan yang lebih pro terhadap korban, dengan menghapus dosa-dosa para pendosa alih-alih
memberikan keadilan yang merupakan hak para korban mereka.
Agar tidak “merugi”, maka sang
Muslim perlu mendukung praktik perbankan ketika bukan hanya menarik “riba”,
namun juga melakukan praktik “rentenir”, sebagaimana terbukti sejak lama
dilakoni oleh berbagai perbankan di Indonesia, tertuang lewat jejak sejarah dalam
anotasi yurisprudensi sebagaimana putusan Mahkamah Agung R.I. No. 2027
K/Pdt/1984, tanggal 23 April 1986: [Sumber : Majalah Hukum Varia Peradilan
No.18.Tahun. II. Maret.1987. Hlm. 5.]
Berdasar Akta Puchase Agreement, Penggugat telah
membeli dari Tergugat, suatu Debt Instrument-promissory more dengan nilai
nominal US dollar 225.000,- yang ditarik dan ditandatangani oleh Tergugat
dengan janji Tergugat akan dibebani bunga, denda serta ongkos lainnya,
berupa biaya notaris, biaya penagihan, bila terjadi keterlambatan pada hari
jatuh tempo.
Pengadilan Negeri di dalam putusannya tidak dapat
menerima gugatan Penggugat.
Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan
Negeri dengan mengabulkan sebagian gugatan Penggugat, yang menghukum Tergugat
membayar kembali kepada Penggugat – nominal promessory note US dollar 225.000,-
ditambah dengan bunga 6% per tahun.
Mahkamah Agung R.I. dalam putusannya telah
membenarkan pertimbangan judex facti dengan menolak keberatan yang diajukan
oleh Pemohon Kasasi, dengan pertimbangan yang pada intinya sebagai berikut:
“Bahwa meskipun persoalan
denda (penalty) serta ongkos-ongkos lainnya telah diperjanjikan oleh para
pihak, namun menurut Mahkamah Agung, karena denda yang telah diperjanjikan
tersebut jumlahnya terlampau besar, sehingga pada hakekatnya merupakan suatu
“BUNGA YANG TERSELUBUNG” maka berdasar atas rasa keadilan, hal tersebut
tidak dapat dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Karena itu tuntutan tentang
pembayaran denda tersebut harus ditolak.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.