SENI PIKIR & TULIS
KEKELIRUTAHUAN, Keliru dalam Memahami, Tahu namun
KELIRU, itulah Kekotoran Batin yang Menggelapkan Pandangan Mata Seseorang
RUGI dianggap sebagai UNTUNG, dan yang MENGUNTUNGKAN
dipandang sebagai KERUGIAN, suatu KEKELIRUTAHUAN
Baru-baru ini saat ulasan ini penulis susun, penulis membeli barang-barang belanjaan di sebuah minimarket, dan terdapat produk yang penulis bawa pulang ternyata belum masuk dalam “struk belanjaan” akibat “gagal scan” oleh pihak kasir yang lalai. Penulis dapat saja pulang membawa serta “bonus” sebagai oleh-oleh dari minimarket, sebagaimana insting “hewani” hasil olah otak reptil yang bekerja di kepala penulis. Namun, penulis adalah seorang makhluk hidup bernama “manusia”, yang sudah semestinya berperilaku dengan mengedepankan akal-budi, tidak dapat menuruti semua kehendak hati dan impuls—mawas diri, artinya mengawasi perilaku dan pikiran diri sendiri secara awas atau penuh kesadaran.
Sebagai pembelajar dan siswa
dari Sang Buddha, tentu saja penulis memahami serta menjiwai pengetahuan
perihal “Hukum Karma”, bukan sekadar tahu dan belajar serta yakin, namun mengamalkannya
dalam keseharian sebagai praktik nyata. Adapun pesan dibalik “Hukum Karma”
sebagaimana dibabarkan oleh Sang Buddha ialah, tiada yang benar-benar
dapat kita curangi dalam hidup ini. Perbuatan besar maupun perbuatan kecil,
adil maupun tidak adil, salah ataupun benar, diakui maupun dipungkiri, diingat
atau dilupakan, sepele ataupun penting, perbuatan itulah yang kelak akan
menimpa dan kita petik sendiri sebagai pewarisnya. Jika memang tidak bisa
bersikap curang, lantas untuk apa masih mencoba mencurangi hukum yang tergolong
bagian dari “hukum alam” ini? Itulah jalan hidup bagi para siswa Sang Buddha,
bagaimana kita menjadikan cara hidup kita sebagai “pulau pelindung” bagi diri kita
sendiri.
Melakukan kejujuran, berbalas
kejujuran, itulah yang kemudian menjadi opsi pilihan penulis, dan membuat
keputusan “melawan arus”, yakni membalik badan untuk melangkahkan kaki kembali
ke minimarket, dan membayar yang belum terbayarkan. Bagi sebagian orang,
tentunya mereka akan memilih untuk mengambil “bonus” tersebut dengan segala
macam pembenaran diri dan alibi, justifikasi, atau apapun itu alasannya semacam
“pemberian Tuhan”, “kehendak Tuhan”, “seizin Tuhan”, “kuasa Tuhan”, dan lain
sebagainya—penyalahgunaan nama Tuhan, dan menutup mata dari fakta bahwa mereka telah
gagal dalam “ujian kejujuran” dari Tuhan.
Bagi mereka, adalah “merugi”
bila bersikap jujur, dan “untung” bila berbuat tidak jujur. Namun, setidaknya bagi
diri pribadi penulis, kejujuran bukanlah sebentuk kerugian, namun “menanam
kejujuran berbuah kejujuran” karenanya patut disebut sebagai “pilihan cerdas”
untuk orang-orang yang memiliki akal-budi, bukan sekadar menjadi budak insting
mereka layaknya seekor hewan. Sebagai seorang manusia yang memiliki apa yang disebut
sebagai “rasio”, yakni kemampuan dalam daya olah pikir, hendaknya mengedepankan
“akal sehat milik orang sehat” alih-alih “akal sakit milik orang sakit”.
Dalam “sutta pitaka” (salah
satu pitaka dalam tipitaka), disebutkan bahwa apa yang bagi orang kebanyakan
disebut sebagai kesenangan, bagi seorang Buddha adalah merupakan sebuah
penderitaan. Kemelekatan, selalu harus dibayar dengan sebuah harga bernama
derita dan ketidakpuasan. Ajahn Chah, seorang bhikkhu Theravada tradisi hutan,
menganalogikan kemelekatan terhadap kesenangan duniawi (wordly pleasure) sebagai seekor ular berbisa, ketika kita pungut
ekornya maka mulutnya akan mematuk kita. Kelahiran kembali, adalah dukkha,
siklus lingkaran samsara lahir dan mati yang sudah tidak terhitung jumlahnya, tidak
berkesudahan, dan tiada ujung pangkal maupun ujung muaranya, hanya
berputar-putar para berbagai alam kehidupan akibat terbelenggu rantai karma. Tetap
saja, mayoritas umat yang mengaku beragama Buddha, sungkan untuk berjuang
merealisasi Nibbana, suatu istilah untuk menggambarkan tiada lagi kondisi, yang
karenanya tiada lagi bentukan, dan tiada lagi tumimbal lahir, sebuah kebebasan
yang disimbolikkan oleh istilah “break
the chain of karma”.
Sebaliknya, apa yang menurut
seorang Buddha dipandang sebagai kebahagiaan, menurut sebagian besar dan
kebanyakan diantara kita dipandang sebagai sebuah ketidakbahagiaan serta
dijauhi. Melepaskan kemelekatan, tampak begitu menakutkan dan menyerupai
“kiamat” di mata orang-orang yang begitu melekat pada keduniawian. Meminjam istilah
dari Ajahn Brahm, bebas dari keinginan (free
from wanting), alih-alih bebas untuk berkeinginan (free to wanting), sekalipun segalanya berkondisi diliputi
ketidakpuasan dan tidak akan pernah memuaskan akibat tiadanya “diri” yang ajeg
serta tiada yang pasti selain perubahan dan ketidakpastian itu sendiri (anicca, dukkha, dan anatta
sebagai tiga corak kehidupan dan bentukan yang berkondisi). “Ada jalan menuju ‘pantai seberang’!”,
tunjuk Sang Buddha, namun tetap saja sebagian besar dari kita memilih
untuk berkubang dalam siklus lingkaran samsara meski “terbakar” sepanjang perputaran
proses tidak berkesudahan lahir, tua, sakit, dan mati—sebuah “never ending stories” yang menjemukan
dan meletihkan, penuh derai “joy and
sorrow” yang tiada makna.
Contoh sederhana berikut,
penulis pilih karena karena memiliki kedekatan (proximity) dengan keseharian para pembaca, dimana bisa jadi Anda
menjadi korban atau bahkan menjadi pelakunya (karenanya lebih cenderung membela
pelaku dengan memakai perspektif sesama kaum “pelaku”). Seorang atau sebuah
sindikat mafia tanah, membuat modus yang tersistematis dan canggih sedemikian
rupa, dibalut dengan kemasan instrumen hukum yang rumit, penyalahgunaan
terhadap regulasi maupun instrumen keuangan lainnya, mencoba merampas dan
menggelapkan aset milik seorang debitor, dimana yang ilegal pun dapat
di-“sulap” menjelma legal.
Semata dengan memanfaatkan
“celah hukum” maupun aturan hukum yang jauh dari kata sempurna, sang pelaku “kejahatan
kerah putih” (white collar crime) ini
pun menjadi imun dari konsekuensi yuridis, ibarat memiliki “jalan bebas
hambatan” dalam melancarkan modus-modus kejahatannya, tidak terkecuali
menguasai jejaring oknum-oknum aparatur penegak hukum yang “korup”. Jadilah,
sesuatu pengkondisian yang disebut sebagai “a
perfect crime”, sebuah kejahatan sempurna berkat ketidaksempurnaan regulasi
maupun karena menjadikan instrumen hukum sebagai legitimasi dan justifikasi
aksi jahat mereka.
Rekonstruksi kejadian di atas,
bukanlah isapan jempol ataupun wacana belaka, namun benar-benar dialami salah
seorang klien dari penulis yang menjadi korban dari “sindikat mafia tanah” yang
menyaru sebagai kreditor perorangan pembeli cessie dari salah satu perbankan di
Indonesia, memakai modus “bunga yang terselubung” bernama denda, biaya, dan
sebagainya untuk melakukan MARK-UP
tagihan piutang, kemudian disaat bersamaan melakukan MARK-DOWN nilai objek agunan yang dijual lelang eksekusi, dan
dibeli sendiri oleh anak buah (orang suruhan) sang “mafia tanah” yang menjadi
pemohon lelang eksekusi. Seluruh fasilitas dan instrumen hukum, telah
disalahgunakan untuk kepentingan sang “mafia tanah”, dimana penulis meyakini
bahwa klien penulis bukanlah pihak pertama yang pernah dijadikan korban oleh
sindikat “mafia tanah” ini.
Sang debitor, yang menjadi
korban modus canggih sang “mafia tanah”, merugi senilai puluhan miliar Rupiah,
dirampok oleh sindikat kriminal “kerah putih” yang tampak “sopan” dan yang
dalam realita lapangan telah banyak menjatuhkan korban dari kalangan debitor
dimana agunan sebagai jaminan pelunasan hutang milik mereka dirampas dan
digelapkan. Itulah, tepatnya apa yang disebut sebagai “law as a tool of crime”, ketika instrumen dan fasilitas hukum
dikusai dan disalahgunakan oleh mereka yang berbisnis tanpa dilandasi “etika
berbisnis”, apapun profesinya. Pelakunya, penuh senyum, tampak ramah dan
bersahabat, “soleh”, memakai kemeja putih, serta “berkerah”, namun dibalik
kesemua itu mereka merampok dan menjatuhkan para korban yang mereka targetkan
tanpa belas kasihan, tanpa jiwa kemanusiaan, dan tidak humanis, menyerupai
manusia karnivor dan predator, penuh kebiadaban akibat faktor keserakahan
semata.
Menurut para pembaca, apakah
pelakunya, baik yang menjadi aktor intelektual, penyandang dana, ataupun para
anak buah sindikat “mafia tanah” tersebut, yang berhasil dengan lancar memakan
hidup-hidup korban mereka, dapat disebut sebagai “beruntung” dan “mujur”? Sang
Buddha telah lama menjawab, dengan menyebut orang-orang semacam itu sebagai
“Manusia dungu!” Sang Buddha
menyebut mereka sebagai “dungu”, karena “tidak malu” dan “tidak malu” berbuat
jahat. Masih menurut Sang Buddha, “malu” (hiri) dan “takut” (ottappa)
untuk berbuat kejahatan (seperti menyakiti, merugikan, ataupun melukai) diri sendiri
ataupun orang lain, merupakan gerbang moralitas yang membedakan antara seorang
manusia dan seekor hewan. Sebanyak apapun peraturan hukum dibentuk, bila “standar
moral” manusia masih dikusai oleh ideologi yang memandang remeh dan
menyepelekan derita seorang korban, maka hukum hanya akan bernasib sebagai alat
untuk kejahatan. Ciri khas mentalitas kriminil, memiliki satu pola yang unik
dan khas, yakni menyepelekan perasaan korban.
Lebih irasional lagi, para anak
buah dari sang pelaku utama dibalik modus kejahatan demikian, melakukan
kejahatan besar sekadar untuk upah ataupun imbalan yang tidak seberapa nilainya
(seberapa pun besarnya imbalan mereka, tetap tidak sebanding dengan kerugian
yang diderita korban atau akibat yang mereka perbuat). Hanya demi upah atau
imbalan tidak seberapa, melakukan kejahatan sebesar itu demi kepentingan orang
lain yang menikmati keuntungan terbesarnya? Hanya demi upah atau komisi yang
tidak seberapa nilainya dibandingkan dengan kerugian yang diderita oleh korban
mereka, apakah layak? Bukankah mereka patut, karenanya diberi julukan sebagai
orang-orang “dungu”, yang bahkan merasa bangga secara tidak logis berhasil
melakukan kejahatan dan menjadi bagian dari sindikat kejahatan? Itulah, yang
oleh Sang Buddha disebut sebagai “si
dungu merasa senang dan gembira meski terbakar dan terpenjara dalam ruang yang sedang
terbakar”.
Tidak bertanggung-jawab,
disebut sebagai “untung” ataukah “buntung”? Tentu, jawabannya terletak pada
persepsi. Bila Anda berdiri pada sudut pandang seorang korban, maka Anda akan
menyatakan bahwa tanggung-jawab adalah suatu KEHARUSAN (“ought to” atau “should to”),
bukan lagi sebuah opsi. “Responsibility”, berakar kata “to respond” dan “able”,
artinya jika mmapu bertanggung-jawab maka bertanggung-jawablah, berani berbuat
maka berani bertanggung-jawab, serta jika mampu berbuat maka artinya mampu pula
bertanggung-jawab. Namun dalam sudut pandang sang pelaku kejahatan ataupun
sesama penjahat, jawabannya tentu sudah dapat kita tebak, jawaban yang dangkal
dan “mau enak sendiri” atau “mau menang sendiri”.
Dengan lancar berhasil melancarkan
modus-modus untuk menipu lewat upaya berbohong, ingkar janji, manipulasi,
eksploitasi, dan cara-cara curang yang jahat lain sebagainya, disebut “untung”
ataukah “buntung”? Lagi dan lagi, perspektif atau sudut pandang menjadi
penentunya. Bagi Anda yang mampu merasakan “prihatin” maupun memiliki empati
(syarat mutlak EQ, Kecerdasan Emosional), tentu Anda mampu turut merasakan derita,
luka, dan sakit yang dirasakan oleh sang korban, karenanya mencela perilaku
sang pelaku.
Namun, ketika Anda berdiri dan
memposisikan diri Anda sebagai sang pelaku (atau sebagai sesama kaum pelaku,
karena terbiasa berbuat jahat), maka jeritan korban akan Anda hakimi dan
lecehkan sebagai “tidak sopan”, “sudah gila”, “berisik”, atau “sinting” dan
segala diskredit lainnya—seolah-olah korban hanya boleh berdiam diri disakiti
dan terus disakiti bak seonggok mayat yang kaku dan terbujur kaki atau bak
sebatang kayu yang tergeletak tanpa suara sekalipun ditebang hingga tumbang dan
mati. Korban turut dilecehkan, pelakunya dibela dengan tidak dikritik ataupun
dicela perilakunya yang telah menyakiti dan merugikan ataupun melukai sang
korban. Setidaknya, dalam Buddhisme, menjerit merupakan “HAK ASASI KORBAN”.
Penjahat yang selalu berhasil berbuat
jahat, disebut sebagai “untung” ataukah “buntung”? Jawabannya, mencerminkan
tingkat SQ (Spiritual Quotient,
Kecerdasan Spiritual) Anda. Bagaimana mungkin, menanam Karma Buruk untuk
dipetik sendiri “buah PAHIT”-nya dimasa mendatang, disebut sebagai
“menguntungkan”? Menggali lubang kubur sendiri, demikian anekdot menyebutkan
perihal kebodohan manusia jahat. Bukankah pepatah sudah pernah berkata, “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke
tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”? Itulah sebabnya,
dalam Buddhisme, seorang penjahat yang paling beruntung ialah penjahat
yang selalu gagal melancarkan niat jahatnya. Anda tidak perlu
merepotkan diri mencari “tes SQ”, satu pertanyaan tersebut di atas telah cukup
representatif mencerminkan SQ seseorang—yang mana juga membuktikan bahwa
tingkat IQ terkait erat terhadap tinggi atau “tiarap”-nya EQ dan tidak
terkecuali menentukan memadai atau tidaknya SQ seseorang.
Di mata seorang suciwan,
iming-iming “korup” yang “too good to be
true” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”,
adalah menjijikkan, alergik, “toxic”,
dan dijauhi. Sebaliknya, kontras dengan itu, di mata para pendosa, ideologi
“penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” tampak demikian
menggiurkan, “manis”, layak dikejar dan dipelut, dikonsumsi, dinikmati,
dijilati, dicari, dikoleksi, dikumpulkan—sebagaimana fakta tidak terbantahkan
bahwa hanyalah seorang pendosa yang membutuhkan iming-iming “curang” semacam
“penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Di mata kaum ksatria, Tuhan
lebih PRO terhadap korban, karenanya seorang ksatria akan memilih untuk
bersikap ksatria secara penuh tanggung-jawab, dimana bila diri mereka telah
pernah berbuat salah ataupun jahat terhadap pihak lain (menyakiti, melukai,
maupun merugikan), maka para ksatria akan seketika memilih untuk proaktif
mengambil tanggung-jawab, dapat dipertanggung-jawabkan, serta siap untuk dimintakan
pertanggung-jawabkan—bahkan sekalipun korban mereka tidak menyadari telah
dikorbankan dan tidak menuntut tanggung-jawab apapun dari sang pelaku. Mereka,
para kaum ksatria, tidaklah menyerupai seorang pengecut yang memilih untuk
melarikan diri, “lempar batu (lalu) sembunyi tangan”, dan “tabrak lari” ketika
menyakiti ataupun merugikan pihak lain.
Sebaliknya, di mata seorang
pendosa, berkelit, memungkiri, aksi “cuci tangan”, menutupi jejak dan menghapus
alat bukti, “tabrak lari”, mencari kambing hitam, berdalih, memakai alibi,
hingga lari dari tanggung jawab, merupakan sebuah “keuntungan”—dimana bagi
mereka bertanggung-jawab dan dimintakan pertanggung-jawaban oleh korban sama
artinya sebentuk “kerugian” yang harus dihindari dengan segala upaya, bila
perlu korbannya dibungkam agar tidak bersuara lantang menjeritkan derita mereka.
Mereka, para pendosa, lebih sibuk dan menyibukkan diri pontang-panting serta
jungkir-balik untuk berkelit dan lari dari tanggung-jawab, alih-alih
menyibukkan diri untuk mengakui perbuatannya dan memperbaiki diri serta
bertanggung-jawab atas derita yang diderita oleh korban-korban mereka.
“Surga” yang di mata orang
mulia, adalah alam dimana hanya orang-orang baik dan mulia yang dapat
memasukinya dan menjadi penghuninya, bukan “tong sampah” raksasa bagi para “manusia
sampah” bernama kaum pendosa yang “pengecut” (karena hanya mampu lari dari
tanggung-jawab sepanjang hidupnya). Namun, yang dianggap sebagai alam “surga”
oleh orang-orang mulia, di mata para pendosa disebut sebagai “neraka jahanam”
semata karena tidak menjadikan diri seseorang sebagai budak sembah-sujud raja
tiran yang gila kuasa serta mabuk puja-puji maupun sembah-sujud yang mereka
beri nama sebagai “Tuhan”. Adapun yang disebut sebagai “surga” di mata para
pendosa, merupakan “neraka” di mata para mulia, tempat berkumpulnya para
radikal yang “haus darah” dan intoleran.
“Tuhan”, di mata para pendosa,
merupakan personifikasi dari seorang raja tiran, yang akan senang bila
dipuja-puji dan diberi sembah-sujud (baca : “dijilat” oleh para “penjilat
pendosa”), akan memberi nikmat bila merasa senang disenangkan oleh para
budaknya, dan akan memberi siksa lewat kuasanya demi semata mengancam dan
memeras umat manusia yang tidak berdaya dan juga tidak pernah meminta untuk
dilahirkan ke alam semesta ini bilamana tidak melakukan “lip services” terhadap sang “Tuhan”. Karenanya, di mata para
kalangan pendosa, “Tuhan” (versi mereka) lebih PRO terhadap pendosa, yang
karenanya menurunkan wahyu berupa iming-iming “janji-janji surgawi” bernama
“penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Perubahan zaman pun memiliki
perubahan paradigma. Contoh, sebelum atau pra “agama samawi” dilahirkan ke muka
bumi ini, tiada pendosa yang yakin akan masuk surga ketika dewa kematian
menghampiri untuk mencabut nyawa dan nafas hidupnya. Kini, paska “agama samawi”
lahir, para pendosa berbondong-bondong mencetak dosa, memproduksi dosa, mengoleksi
dosa, berkubang dalam dosa, menimbun diri dengan dosa, menggunungkan dosa,
menabung dosa, dan memajang dosa-dosanya setiap hari beribadah (ritual sebatas
“lip services” alih-alih melayani
masyarakat), mengumbar dan mempromosikan ceramah “penghapusan dosa” tanpa rasa
malu, setiap hari raya keagamaan, dan bahkan saat upacara kematian masih pula
memohon “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—seolah-olah
korban mereka tidak memiliki hak untuk mendapatkan keadilan oleh Tuhan—dan
masih pula yakin seyakin-yakinnya telah mendapatkan tiket masuk menuju alam
surgawi setelah kematian, suatu alam dimana menyerupai “tong sampah” berisi
para “manusia sampah” bernama “PENDOSA”.
Alam “surgawi”, bahkan
disebutkan dalam suatu ideologi, menyerupai “rumah bord!l” ketimbang suatu alam
dimana keheningan dan ketenangan, bebas dari kesenangan duniawi, dimana para
pendosa yang menghuninya digambarkan sibuk menikmati bersetubuh dengan puluhan
bidadari berdada montok dan alat kelamin yang dapat “didaur ulang” tanpa henti,
sebentuk “mission impossible”,
SIKSAAN ABADI DALAM NAFSU YANG MEMBARA (TERBAKAR NAFSU). Mereka menyebutnya
sebagai alam “surgawi”, namun digambarkan sebagai berisi kesenangan duniawi
alih-alih kesenangan surgawi seperti kondisi meditatif dan ketenangan bebas
dari segala keinginan maupun dari segala nafsu yang membakar keenam indera.
Memuliakan Tuhan, adalah dengan menjadi manusia yang
mulia, di mata kaum mulia. Sebaliknya, di mata para pendosa, yang tidak malu dan tidak takut
berbuat dosa, satu-satunya cara memuliakan Tuhan ialah dengan cara semudah dan
segampang menyembah-sujud—dimana semua orang dapat menjadi seorang “penjilat”
(apa susahnya?) sembari sibuk menikmati maksiat dan dosa lainnya, sementara itu
tidak semua orang sanggup dan mampu secara komitmen mengendalikan diri dengan
menghindari perbuatan buruk sekecil apapun, serta rajin ataupun merepotkan diri
untuk menanam Karma Baik alih-alih mengemis-ngemis dan memohon pemberian jatuh
dari langit tanpa sebab dan tanam benih yang sebelumnya ditanam.
Bila terhadap kaum yang berlainan,
yang mereka sebut secara melecehkan sebagai kaum “kaf!r”, para penggila
ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” tersebut,
demikian intoleran. Namun ironisnya, disaat bersamaan, mereka demikian
kompromistis terhadap dosa dan maksiat, karenanya tergila-gila dan mengandalkan
iming-iming ideologi “korup” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun
“penebusan dosa” semata karena dosa-dosa mereka telah “too big to be fall”. Di mata para pendosa, eksistensi orang-orang baik
dan suci merupakan gangguan bagi mereka, karena seolah menampar wajah mereka
karena terdapat kontras antara “suciwan” dan “pendosa”, karenanya para pendosa
memiliki “conflict of interest”
berupa pemberangusan orang-orang baik dan suci maupun para ksatria, semata agar
di dunia ini hanya eksis kaum atau golongan “pendosa” semata.
Tanyakanlah kepada mereka,
siapakah diantara kita, para umat manusia, yang dapat memasuki dan memonopoli
alam surgawi setelah ajal menjemput kita, adalah mereka yang setiap harinya
rajin “lip services” terhadap Tuhan (menjadi
“budak” raja tiran, namun disaat bersamaan berbangga diri menjadi pemeluk
ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”), ataukah
dapat pula orang-orang baik yang “ateis sekalipun” memasuki alam surgawi pula?
Ataukah, sebagai kemungkinan ketiganya yang lebih tahan “uji moril” ialah,
hanya para mulia, ksatria, dan suciwan (para kalangan orang-orang baik), yang
memonopolisir alam surgawi? Mereka pun telah pernah menjawab sebagaimana
kutipan berikut, “Jika orang-orang baik
yang NON, bisa masuk surga juga, lalu untuk apa kita setiap hari ‘LIP SERVICES’
kepada Tuhan (versi mereka, tentunya)?” Pandangan yang diperkeruh oleh
delusi, tidak jernih, adalah sumber ke-dungu-an. Tanggalkan kacamata hitam Anda,
dan lihatlah dunia ini sebagaimana apa adanya, secara jujur, sekalipun
menyakitkan dan tidak pernah ada kata ideal.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.