(DROP DOWN MENU)

Waktu yang Tepat, Orang yang Tepat, dan Kata-Kata yang Tepat

SENI PIKIR & TULIS

Mengumbar Ajaran Suci kepada yang Tidak Mampu Menghargai Ajaran Suci, sama artinya menjadikan Sampah Ajaran Suci tersebut bak Sampah yang Berceceran di Jalan dan di Tong Sampah

Ajahn Mun (Acariya Man), seorang bhikkhu tradisi hutan di Thailand yang bersama Ajahn Sao menghidupkan kembali budaya bhikkhu yang hidup dan berlatih di dalam hutan rimba (duthangga), akan bungkam seribu bahasa ketika mendapati bahwa lawan bicaranya tidak menaruh sikap respek terhadap Dhamma. Sehingga, ketika orang tersebut sekalipun mengajukan pertanyaan perihal Dhamma, Ajahn Mun tidak akan menanggapi ataupun memberikan jawaban sepatah kata pun, bungkam seribu bahasa, karena Ajahn Mun mengetahui dan dapat membaca pikiran orang lain, bahwa pertanyaan diajukan namun yang bersangkutan tidak membuka kedua telinganya untuk mendengarkan jawaban, alias bertanya namun menutup telinga dari jawaban pihak yang ditanya, hanya akan membuat Dhamma dilecehkan.

Ajahn Mun menyadari betul, mengumbar Dhamma kepada pihak-pihak yang tidak menaruh hormat terhadap Dhamma, itu sama artinya kita telah melecehkan Dhamma yang kita junjung tinggi dan agungkan. Sebaliknya, bila Ajahn Mun mendapati lawan bicaranya menaruh hormat dan sungguh-sungguh hendak mendengarkan Dhamma, maka Ajahn Mun akan memberikannya Dhamma yang dibabarkan secara lugas dan terbuka serta memandu sang umat hingga mencapai tahap-tahap pencapaian tingkat kesucian.

Murid dari Ajahn Mun, bernama Ajahn Chah, yang meneruskan tradisi bhikkhu hutan sepeninggalan Ajahn Mun, pernah ditanya oleh seseorang, “Siapakah Ajahn Chah?” Ajahn Chah mendapati sang penanya tidak memiliki kematangan batin untuk diberi wejangan Dhamma, sehingga menjawab pertanyaan tersebut secara Dhamma yang mendalam hanya akan berbuah kesia-sian atau justru akan dilecehkan oleh sang penanya. Maka, Ajahn Chah pun menjawabnya secara umum saja, “Ini, saya inilah Ajahn Chah.

Dalam kesempatan terpisah, seorang umat yang memiliki kualitas batin yang cukup murni dan terlatih oleh kebijaksanaan, mengajukan pertanyaan serupa kepada Ajahn Chah, “Siapakah itu Ajahn Chah?” Terhadap sang umat, yang siap mendengarkan wejangan Dhamma yang mendalam dan luhur, Ajahn Chah pun menjawab, “Tidak, tidak ada yang bernama Ajahn Chah.” Tampaknya, dari pandangan pihak luar, jawaban Ajahn Chah seolah tidak konsisten terhadap kedua penanya yang berlainan. Jawaban yang tepat, hanya dapat diberikan pada waktu yang tepat, dan kepada orang yang tepat. Berikanlah jawaban yang umum kepada pihak umum.

Karenanya, kita bisa jadi memiliki jawaban yang bagus, tepat, serta berfaedah. Namun, kita tidak bisa “pukul rata” terhadap semua orang. Pendekatan dan kualitas batin maupun intelektual setiap orang, berbeda-beda. Bila Anda mengetahui sebuah rahasia, hanya ceritakan rahasia tersebut kepada orang yang dapat menjaga rahasia, bukan kepada tipe penggosip yang tidak dapat menjaga lidahnya ataupun kepercayaan. Ada umat yang cukup pandai untuk mencerna Dhamma yang mendalam, namun ada pula umat yang kurang cukup pandai dalam hal kajian “text book”, namun sangat terampil dalam praktik latihan meditasi dan praktik Dhamma dalam keseharian secara komitmen serta konsisten.

Ajahn Brahm, murid dari Ajahn Chah, terhadap publik umum, menggunakan bahasa-bahasa umum ketika memberikan wejangan Dhamma, menghindari bahasa-bahasa yang terlampau “teknis”. Beliau dapat menjadi sosok yang serius, jenaka, pendiam, disesuaikan dengan watak karakter lawan bicaranya. Itulah sebabnya, Ajahn Chah dapat berceramah di tengah-tengah komunitas pejabat negara, di lembaga pemasyarakatan, di tempat ibadah agama nonBuddhist, orang tua dan muda-mudi, baik umat laki-laki maupun perempuan, dan menjadikan ceramahnya fleksibel bagi masing-masing kalangan. Ini semua perihal pendekatan, meski untuk tujuan yang sama.

Ketika kita hendak berbicara, namun kondisi tidak memungkinkan, maka kita perlu belajar untuk menahan dan mengontrol diri serta mulut kita untuk tidak mengucapkan hal yang tidak tepat waktunya ataupun tempatnya. Sekalipun kita mengetahui sesuatu, bukan artinya kita perlu mengubarnya kepada siapapun dan apapun momennya. Sama seperti ketika kita hendak mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian ataupun perikatan lainnya yang membutuhkan komitmen, kita perlu mencermati betul apakah calon rekan bisnis, calon suami ataupun calon istri, calon peminjam dana, calon penerima donasi, adalah betul memiliki karakter dan profil yang dapat dimintakan realisasi janjinya serta dapat dipegang ucapannya.

Sama halnya, berdana haruslah pada saat serta pada orang yang tepat. Seorang suciwan, disebut sebagai “ladang menanam jasa”, karena kualitas moralitasnya yang murni dan suci bersih, sehingga dana yang kita berikan selaku donatur akan tepat guna serta tidak akan disalahgunakan. Berdana pada kotak amal yang tidak jelas pengelolaannya, akan cenderung disalah-gunakan untuk tujuan-tujuan aksi radikalisme ataupun dimanfaatkan untuk kepentingan oknum-oknum tertentu.

Berdana payung pada musim penghujan, sungguh merupakan waktu yang tepat, karena memang sedang dibutuhkan oleh penerima donasi. Namun, berdana kepada orang yang sudah mampu, berdana kepada penjahat yang buruk kebiasaan hidup maupun moralitasnya, bukanlah “ladang yang subur untuk menanam jasa”—Itu ibarat mencoba menanam benih buah mangga di ladang yang tandus, kering, berbatu, serta pengairan yang buruk. Hasilnya pun, tidak akan optimal ketika waktunya berbuah, atau buahnya terasa hambar atau juga bahkan asam! Yang terburuk ialah, benih mangga manis tersebut mati ketika baru bertumbuh tunas, tanpa sempat berbuah dengan lebatnya akibat tidak menerima pupuk ataupun suplai air.

Ibarat menyetel frekuensi radio, terkadang kita menyetelnya pada gelombang yang lebih tinggi ataupun lebih rendah, agar “tune in” terhadap stasiun radio tertentu yang hendak kita dengar siarannya. Istilah lainnya, agar terjadi “connect” antar sesama gelombang yang sama antara antena pemancar gelombang radio dan perangkat radio penerima gelombang radio pendengarnya. Ada tipikal anak, yang memang perlu dididik dengan cara militeristik, yakni anak-anak bertipe phlegmatis. Namun bila Anda mendidik anak Anda yang bila kebetulan bertipe koleris maupun melankolis, secara disiplin militerisik, maka yang tertanam ialah jiwa dendam, kebencian, amarah, serta jiwa pemberontakan.

Konon, seekor keledai baru akan mau bergerak maju bila dipasang worter di depan wajahnya, semata karena seekor keledai memang menyukai sayuran wortel! Sama halnya, untuk memotivasi seseorang pegawai, menerapkan prinsip meritokrasi “reward and punishment” perlu disesuaikan dengan minat dan keinginan atau aspirasi sang pegawai, semisal reward sejenis apakah yang ia inginkan sebagai bonus prestasi dan kinerjanya? Memberi hadiah berupa tiket berlibur ke luar negeri bagi semua pegawai, yang bisa jadi sebagian diantaranya tidak menyukai jalan-jalan ke luar negeri, seperti para kaum introvert, sungguh suatu kesia-siaan—semata karena tidak tepat guna.

Bila merujuk pada sejarah kehidupan Sang Buddha, sang Guru Agung para dewa dan para manusia ini selalu menyesuaikan pendekatannya ketika mengajar Dhamma, terhadap kondisi mental dan kesiapan maupun kematangan batin para siswa-Nya. Terdapat seorang siswa Sang Buddha, yang karena faktor keterbatasan kecerdasan intelektual, bahkan menghafal satu buah sutta pun tidak mampu. Namun Sang Buddha memahami betul kematangan dan kualitas batin setiap murid-Nya, lalu memberikan metoda yang sangat personal terhadap sang murid, memintanya menggosok secarik kain dan terus menggosoknya, dan memintanya untuk memperhatikan apakah kain tersebut akan menjadi putih bersih karenanya. Sang murid, menjalankan instruksi Sang Buddha secara sepenuh hati, diwartakan kemudian menjelma sebagai murid yang mampu menyadari sesuatu dibalik instruksi Sang Buddha, dan memasuki kondisi “tercerahkan”. Pendekatan yang bersifat personal, lebih cenderung untuk tepat guna.

Sang Buddha tidak berupaya menceramahi Devadatta secara panjang-lebar, karena mengetahui bahwa tingkat kematangan batin Devadatta belumlah siap untuk Dhamma yang mendalam, akibat pandangan mata Devadatta masih diliputi oleh kekotoran batin yang terlampau tebal. Terdapat tipikal orang, yang sekalipun telah memutih rambutnya, namun sangat dangkal tingkat kebijaksanaannya, sehingga bukanlah orang yang tepat untuk meminta nasehat maupun melakukan tukar-pikiran dengan tipe pribadi yang tua dari segi umur semata demikian. Kita menyebutnya sebagai, orang tua yang kekanak-kanakan. Sebaliknya, terdapat pula anak muda yang sekalipun berusia masih belia, namun memiliki tingkat keterbukaan pikiran serta kebijaksanaan yang melampaui anak-anak seusianya, terkesan lebih matang dan memiliki tingkat kedewasaan berpikir yang melampaui anak rata-rata lainnya.

Sehingga, terkadang dan acapkali, bukanlah perihal bobot pemikiran ataupun gagasan dan fakta yang hendak kita sampaikan, namun perlu kecerdasan dalam membaca situasi dan kondisi, apakah waktunya tepat, apakah tempatnya sudah tepat, serta apakah audiens atau lawan bicara kita adalah pihak yang tepat, itulah pertanyaan terbesarnya, sebelum menentukan apakah kita sebaiknya memilih untuk membuka suara ataukah sebaliknya menutup mulut serapat mungkin atau setidaknya berbicara seminim mungkin. Apapun itu, para pendahulu kita selalu memberi nasehat bijak sebagai berikut : Bicara secukupnya, apa yang tidak perlu diucapkan maka tidak perlu diucapkan. Bicara dan utarakan seperlunya saja.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.