SENI PIKIR & TULIS
Investasi Jangka Panjang Pelaku Usaha, Rawat dan Jaga
Pelanggan Anda lewat Pelayanan yang RAMAH dan SABAR
Terkadang, bukan soal produk barang atau jasa yang dijual oleh suatu pelaku usaha (penyedia barang maupun jasa) yang menjadi faktor penentu ada atau tidaknya minat masyarakat ataupun calon konsumen untuk memutuskan menjadi pelanggan atau tidaknya—namun pendekatan, cara menyajikan, serta pelayanan dan ketulusan dalam melayani semisal keramahan dan kesabaran. Ulasan ini disusun dari perspektif konsumen, dimana bila para pembaca merupakan seorang pelaku usaha penyedia barang ataupun jasa, bahasan dalam kesempatan ini menjadi sangat penting untuk disimak karena faedahnya aplikatif untuk diaplikasikan.
Pernahkah Anda perhatikan,
ketika dua atau lebih pedagang menawarkan barang atau produk jualan yang
homogen sifatnya, seperti jajanan pasar, yang bahkan lapak dagangannya saling
berseberangan, namun akan ada saja pelanggan yang setia menjadi konsumen
(langganan) pada salah satunya. Adanya faktor kedekatan, pendekatan, serta cara
melayani, yang menjadikan masing-masing pedagang adalah unik serta berbeda satu
sama lainnya di mata pengunjung dan pelanggan. Ada sentuhan personal (relasi inter-personal)
di sini, human touch. Terkadang,
produk yang diperjual-belikan menjadi faktor nomor kedua, untuk kita
pertimbangkan. Relasi atau interaksi sosiologis antara pihak penjual dan
pembeli, menjadi faktor nomor satu.
Dua contoh kasus berikut yang
saling kontras satu sama lain, dapat menjadi cerminan konkret. Pada suatu hari
penulis mendatangi sebuah rumah makan untuk membeli makanan, dimana untuk itu
tentunya calon konsumen adalah wajar bila bertanya, “Menjual apa saja dan berapa harga masing-masingnya?” Alangkah
terkejutnya penulis mendapati respons sang pemilik pelaku usaha, yang mungkin
karena kesombongan akibat masakan yang ia jual ialah telah dikenal oleh warga
sekitar sebagai bercitarasa unggul dan cukup terkenal sejak dahulu kala,
penulis dimarahi oleh sang pemilik usaha.
Sebagai tanggapan, penulis mengomentari
kemarahan sang pelaku usaha, “Bertanya
harga saja, dimarahi?!” Sang pelaku usaha kemudian menyadari kekeliruannya,
lantas berdalih sembari menghentikan sejenak kegiatannya memasak di kuali besar
di dapur, “Saya sedang capek!” Fatal,
sang pelaku usaha telah kehilangan pelanggan potensial, dimana penulis bertekad
untuk tidak pernah lagi membeli makanan dari rumah makan tersebut. Jika saja
pendekatan sang pelaku usaha lebih humanis, maka dapat dipastikan penulis akan
sering dan rutin berbelanja makanan pada restoran tersebut.
Bila penulis cermati, rumah
makan tersebut tergolong sepi dari pengunjung maupun pembeli. Yang ada datang
ialah warga setempat yang sudah dari sejak lama membeli di rumah makan tersebut
sehingga tidak lagi bertanya perihal “menjual apakah” ataupun “berapakah
harganya”. Namun, rumah makan tersebut gagal total dari segi “regenerasi
pelanggan” karena tidak menumbuhkan konsumen baru. Alhasil, rumah makannya
tergolong tidak laku, bertolak-belakang dengan kualitas citarasa masakannya
yang memang paling unggul di wilayah tersebut. Dengan kualitas produk masakan
yang dijualnya, semestinya pemilik usaha tersebut mampu membuka gerai cabang
restoran di berbagai kota, namun kontradiktif terhadap realita.
Tidak jauh dari rumah makan
yang tidak ramah terhadap pengunjung (calon konsumen) demikian, terdapat
seorang penjual makanan berupa lapak di pinggir jalan, namun sangat laku keras
dimana produk jualannya selalu laris-manis setiap harinya. Apakah yang membuat
kedua pedagang tersebut, bernasib demikian kontras? Sang pedagang kedua,
melayani pertanyaan setiap pengunjung dengan sabar dan ramah, menjelaskan dan
menerangkan apa isi makanan di dalam jualannya, berapa harganya, dari bahan
apa, komposisinya dari daging apakah (terutama umat beragama Hindu maupun
Muslim, ataupun demi tujuan kesehatan seperti memastikan daging ayam kampung
ataukah boiler hasil penyuntikkan hormon pertumbuhan artifisial), apakah tahan
hingga malam hari dan tidak basi, serta berbagai pertanyaan lainnya oleh setiap
pengunjung yang datang ke lapaknya yang menggelar puluhan jenis makanan maupun
cemilan—kontras dengan pemilik rumah makan pertama yang hanya menjual beberapa
jenis masakan namun tidak bersedia menjawab pertanyaan calon konsumen.
Alhasil, sejak saat itulah
ketika penulis berkesan dilayani oleh sang penjual kedua pada lapaknya,
keramahan dan kesabaran dalam melayani setiap pertanyaan calon konsumen
terhadap satu per satu produk yang dijual olehnya, penulis telah beralih dari
status pengunjung, menjelma konsumen, sebelum kemudian memutuskan menjadi
pelanggan tetap pada lapak dagangannya. Demikianlah konsumen membuat
pertimbangan dan keputusan, bisa dilandasi faktor rasa, perasaan, maupun rasio.
Perihal pedagang makanan
pertama, restoran rumah makan, penulis tidak pernah lagi menjejakkan kaki di
tempat tersebut, trauma atas sikap dan cara sang pelaku usaha yang bersikap
seolah-olah konsumen yang membutuhkan sang pelaku usaha, bukan sebentuk relasi
saling membutuhkan. Pada suatu kesempatan, dimana ada peluang untuk sedikit
berbincang pada tengah hari bersama pedagang kedua dimana lapaknya agak mulai
lengang dari pengunjung dari beberapa menit sebelumnya dijejali pelanggan,
penulis menguraikan sebagai berikut:
“Ada satu pengalaman menarik,
yang mungkin sudah dipahami oleh Ibu. Belum lama ini saya berkunjung ke rumah
makan dekat sini, yang masakannya dikenal enak. Namun ketika saya bertanya
‘menjual apa saja?’ serta ‘berapa harganya?’, saya dimarahi sang pemilik rumah
makan. Jadilah, kapok saya membeli di tempat tersebut lagi.
“Saya harap Ibu tetap melayani
pengunjung dengan sabar dan ramah, satu per satu pertanyaan oleh calon konsumen
dijawab dan dilayani dengan penuh keramahan dan kesabaran. Itu hanya merepotkan
diawal saja, karena sekalinya konsumen telah mengetahui produk yang dijual
serta harganya, mereka pada lain kesempatan akan langsung membeli tanpa lagi
banyak bertanya, sudah menjadi pelanggan tetap.
“Kedua, bila saat kini belum
membeli, bukan artinya esok hari tidak akan membeli. Sehingga, tetap layani
dengan ramah dan sabar, membeli ataupun tidak jadi membeli pada hari itu. Bisa
jadi calon konsumen belum membawa uang di dalam sakunya atau memang telah
banyak belanja dan cukup pada hari itu. Namun bila tidak membeli pada hari itu
juga, bisa jadi ia akan membeli pada keesokan hari atau pada kesempatan lainnya
saat ia siap membayar ataupun ketika momennya
tepat.
“Konsumen bukan hanya datang
untuk membeli produk, namun juga untuk mendapati keramahan pihak penjual.
Sehingga pesan morilnya ialah : tetap sabar melayani konsumen, penuh keramahan,
membeli ataupun tidak jadi membeli pihak pengunjung. Penjual hanya akan letih
pada mulanya harus menjelaskan satu per satu pengunjung yang datang, dimana
pada esok harinya pelanggan sudah tidak akan lagi banyak bertanya namun langsung
membayar. Namun karena itu jugalah, jualan menjadi laku karena selalu diwarnai
interaksi yang ‘hangat’ dan bersahabat. Tidak membeli pada hari ini, bukan
artinya besok tidak akan pernah membeli.”
Adapun poin-poin penting
sebagai saripati dari kisah dan penuturan penulis di atas, ialah terdiri dari
buah pemikiran antara lain: 1.) Jangan bersikap seolah-olah konsumen yang
membutuhkan pelaku usaha (penyedia barang dan/atau jasa); 2.) Layani setiap
pelanggan maupun calon konsumen, selayaknya melayani seorang RAJA, yakni penuh
kesabaran dan keramahan; 3.) Jangan bersikap seolah-olah tiada kompetitor penyedia
barang maupun jasa lainnya, terlebih jika produk bersifat homogen yang mudah
dicari substitusinya; 4.) Bila pada kesempatan pertama, pengunjung yang
banyak bertanya tidak melakukan pembelian, bukan artinya di kesempatan lain
tidak akan membeli (potential buyer);
5.) Menjelaskan produk, hanya merepotkan pelaku usaha pada mulanya saja. Ketika
pelanggan telah familiar terhadap produk / jasa, maka semua transaksi dapat
berlangsung secara efisien pada gilirannya. Karenanya, keramahan dan
kesabaran pelaku usaha, merupakan bagian dari investasi itu sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.