SENI PIKIR & TULIS
Yang Kita Sukai, Belum Tentu juga Disukai oleh Orang Lain
Memahami dan Saling Memahami, Bukan Minta Dipahami,
Dihargai, dan Dihormati
Sering kita dengar atau saksikan, seseorang yang kelakuannya “sekehendak hati” alias berkelakuan “seenaknya”, semata menggunakan pendekatan sebagaimana kebiasaan dirinya sendiri, melepaskan diri dari fakta bahwa orang lain memiliki pendekatan serta kebiasaan ataupun gaya karakter, kecondongan, kesukaan serta ketidaksukaan, dan kepribadian yang berbeda, justru senantiasa menuntut agar dimengerti namun disaat bersamaan selalu gagal untuk mau memahami dan menghargai kehendak, aspirasi, harapan maupun kepribadian orang lain.
Setiap pribadi, unik dan saling berbeda, memang sudah kodratnya
demikian, bahkan antar saudara kandung atau saudara kembar sekalipun. Orangtua yang
memaksakan kesukaannya kepada sang anak, tidak mengherankan bila akan
menimbulkan konflik internal keluarga. Seseorang penyuka film Drama Mandarin
bisa jadi tidak menyukai sinema Barat, begitupula sebaliknya. Tiada yang berhak
untuk menghakimi kesukaan dan kecenderungan minat yang dimiliki orang lain, karenanya
“soal selera tidak dapat dipersengketakan” (terlebih dipaksakan) satu sama
lainnya.
Sebagai contoh, seseorang
mendalilkan “watak saya memang begitu dari sananya, bicaranya keras dan sambil
teriak-teriak”. Ia tidak mau menyadari, bahwa orang lain yang dijadikan lawan
bicara, bisa jadi tidak menyukai pendekatan gaya bicara dan berkomunikasi yang
“seolah-olah orang lain tuli dan bodoh” demikian. Kamu ingin bilang, saya tuli
dan bodoh? Sebagaimana perumpamaan seorang guru yang baik, akan melihat potensi
dan karakter masing-masing muridnya, karenanya itulah pendekatannya selalu
bersifat personal, bukan “pukul rata”.
Kita tidak dapat bersikap
sepihak. Relasi antar manusia bersifat resiprokal atau resiprositas, yang
bermakna saling bertimbal-balik, alias saling memahami dan menghargai satu sama
lain. Jika kita menuntut orang lain
untuk memahami diri kita, maka disaat bersamaan kita pun perlu mewajibkan diri
kita untuk memahami karakter serta watak orang lain. Mengingat hal itulah,
hendaknya kita tidak semata menggunakan pendekatan ataupun kebiasaan dan
perangai diri pribadi kita (preferensi pribadi), namun perlu disesuaikan
kecocokannya dengan karakter diri pribadi lawan bicara (preferensi lawan
bicara). Bila memang tiada kecocokan, maka janganlah dipaksakan ataupun
memaksakan diri. Bila memang kita yang memiliki kepentingan terhadap mereka,
maka kitalah yang harus menyesuaikan diri dan beradabtasi dengan masing-masing
karakter lawan bicara kita.
Seorang pemberi kerja yang
terampil dalam memanajemen sumber daya manusia yang bekerja pada organisasinya,
perlu merangkul seluruh karyawan agar bekerja secara optimal bahkan merasa
saling memiliki terhadap organisasi disamping atmosfer saling harmoni, saling
menghargai, dan saling memahami satu sama lainnya. Dengan cara begitulah,
tujuan organisasi dapat tercapai dalam hasil yang paling optimal dan efektif. Kepemimpinan
bukan soal memerintah dan memberi perintah, namun memahami seni pendekatan
personal terhadap setiap lini pekerja pada suatu organisasi tempatnya bernaung,
pendekatan “personal touch” yang
menjadi pintu masuknya wujud perhatian dari seorang atasan dan merasa
diperhatikan di mata sang karyawan.
Sebagai contoh, seorang pemberi
kerja perlu memahami kebiasaan dan perangai seorang bawahannya yang dikenal
penuh tanggung jawab dan dapat diberi kepercayaan, namun bisa jadi sangat tidak
menyukai bila terlalu merasa dikekang oleh berbagai aturan dan prosedur yang
dinilai olehnya terlampau formalistis seperti jam kerja yang tidak fleksibel
ataupun protokoler kantor lainnya. Ketika ia diberi kepercayaan dan kebebasan
lebih, ia justru akan menunjukkan kinerja yang lebih pesat sebagai bukti
balasannya.
Seorang pemimpin yang efektif,
memahami betul bahwa setiap pegawainya adalah pribadi yang “unik”, karenanya
membutuhkan pendekatan yang cocok dengan pembawaan serta karakter masing-masing
pekerjanya, agar dapat mendorong mereka untuk bekerja secara antusias dan
merasa saling memiliki terhadap perusahaan tempat mereka bekerja. Kerekatan atau
kohesinya bukanlah sekadar budaya yang tumbuh di dalam perusahaan, namun
seringkali “personal touch” majikan
atau atasan mereka. Semua pegawai, memiliki perasaan ingin dihargai, ingin
dibutuhkan, dan ingin dihormati. Ketika semua itu telah terpenuhi, maka mereka akan
memberikan imbal-balik berupa semangat kerja sebagai tim besar yang dapat
mengakselerasi jalan majunya perusahaan, karena mereka merasa menjadi saling
memiliki antar pegawai dan terhadap perusahaan.
Pemberi kerja mengharapkan dan
menuntut setiap pekerjanya untuk menyesuaikan diri dan patuh terhadap peraturan
perusahaan, secara penuh tanggung jawab terhadap tugas pokok dan fungsi jabatan
mereka, namun pihak pemberi kerja juga perlu membuka ruang gerak untuk “bernafas”
dan ruang bebas yang masih dapat diberi toleransi dan dinegosiasikan berupa
memahami masing-masing perangai unik karyawannya, saling memahami, tanpa
mengorbankan tujuan perusahaan yang hendak dicapai bersama.
Pemberi kerja yang efektif,
berfokus pada kelebihan dan keunggulan pegawai yang direkrut sebagai
pegawainya, ketimbang kekurangan dan kelemahan mereka. Pemberi kerja yang efektif,
cukup memotivasi karyawannya. Sementara itu pemberi kerja yang berfokus pada
kelemahan dan kekurangan pegawainya, akan senantiasa mengandalkan pendekatan
berupa makian serta perintah penuh ancaman. Seni dibalik membuat setiap
karyawan secara senang hati dan sukarela memberikan nilai tambah atau
sumbangsih secara lebih dari espektasi atas tenaga dan keringatnya selama bekerja
pada perusahaan, ialah ketika sang pegawai dipandang dan diperlakukan sebagai
seorang “manusia”.
Mereka, para pekerja, sejak
semula direkrut memang karena kelebihan dan talenta unik milik mereka, bukan karena
segala kekurangan mereka—toh, setiap individu memang memiliki kelemahan dan
kekurangan atau ketidak-unggulannya masing-masing, termasuk diri pribadi sang pemberi
kerja. Menuntut seorang pegawai yang tidak terampil dalam mempelajari bahasa
asing untuk menguasai bahasa asing, sama artinya menyia-nyiakan sumber daya
manusia yang ada. Untuk itu, perusahaan meminta agar setiap pegawai memahami
tujuan yang hendak dicapai oleh perusahaan yang telah menggaji dan memberi
mereka upah-nafkah, dan disaat bersamaan pihak perusahaan pun perlu memahami
pegawai-pegawai mereka bila menginginkan agar pegawai mereka kerasan bekerja di
perusahaan tersebut.
Sama seperti seorang dokter
yang baik, tidak “pukul rata” bahwa obat ini baik atau tidak baik, takaran
makanan yang dibakukan, perihal makanan yang tergolong alergen atau bukan, dan
lain sebagainya. Setiap orang, memiliki karakter biologi yang unik satu sama
lainnya, terlebih tataran psikologi / psikis. Suatu obat atau suplemen, mungkin
cocok bagi satu orang, namun bisa jadi tidak cocok bagi individu lainnya. Bagi
satu orang, memakan makanan berlemak dan berminyak membuatnya tetap tampak
sehat, namun akan fatal bila pendekatan diet tanpa rendah lemak disepelekan
semata karena adanya orang-orang yang tetap tampak sehat dan bugar sekalipun
memakan “junk food” sebagai menu
kesehariannya.
Orangtua yang bijaksana, perlu
memahami tipe anaknya, agar dapat menggunakan pendekatan yang sesuai masing-masing
watak dari anaknya. Pendekatan militeristik terhadap seorang anak bertipe
kepribadian koleris dan melankolis, sama artinya “perang dingin” setiap harinya
dalam rumah-tangga. Sebaliknya, bersikap lunak terhadap anak bertipe sanguinis
dan phlegmatis, sama artinya menjerumuskan mereka. Besi, perlu ditempa. Kayu,
perlu diawetkan. Telur, dimasak, menjadi keras. Kentang, dimasak, menjadi lunak.
Terdapat anak yang memang sudah
jenius dari sejak lahirnya, namun tidak jarang dapat kita jumpai pula pribadi anak
yang kurang cepat tanggap terhadap pelajaran, bahkan membutuhkan perhatian
khusus (anak berkebutuhan khusus). Menyamakan setiap pribadi dan individu,
semata dengan memakai preferensi disi pribadi kita semata, sama artinya
menafikan sifat kemanusiaan itu sendiri yang dicirikan oleh kemajemukan
karakter dan kepribadian. Bisa jadi seseorang berprestasi dalam satu bidang,
namun akan lemah dibidang lainnya, adalah hal yang lumrah saja. Tidak ada orang
yang unggul dan berprestasi dalam segala hal, maka hargailah keunggulan diri mereka,
alih-alih berfokus pada kelemahan mereka. Pahami preferensi diri pribadi
mereka, dengan cara itulah relasi yang sehat dan ajeg dapat dibangun dan
dijalin, yakni menghindari betul sikap-sikap semacam “egoistik” ataupun semacam
sikap “mau menang sendiri”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.