SENI PIKIR & TULIS
Antara Agama SUCI, Agama KSATRIA, versus Agama DOSA, Pilih yang Mana?
Sembah Patung Dilarang dan Diberhalakan, Sembah Batu dan
Peluk DOSA justru Dipromosikan?
Ada yang mengatakan, demi kerukunan dan keharmonisan antar umat beragama yang perlu dibina, dipupuk, dan dilestarikan dalam untaian kebhinekaan, maka semua agama perlu dipandang sama, sama baiknya. Terdapat kalangan agama tertentu yang sudah dikenal atas sikap beringas, mengandalkan kekerasan fisik (begitu mudahnya mengumbar kekerasan fisik untuk menyelesaikan setiap masalah), dan radikalismenya, menolak paham demikian, dan menyatakan bahwa agamanya-lah yang paling benar sendiri, paling superior, dan yang paling luhur. Pertanyaan dari penulis ialah, bagaimana mungkin seorang pendosa penyembah “Agama DOSA”, hendak berceramah perihal hidup suci dan mulia?
Bila dikatakan tiada agama yang
sama dan tidak dapat disamakan satu sama lainnya, maka setidaknya kita dapat
membagi berbagai agama besar dunia ke dalam tiga kategorisasi atau
pengelompokan agama menurut karakteristik dan watak dogma-dogma ajarannya maupun
perilaku khas para umatnya yang menjadi faktor diferensiasi antar agama yang
satu dan agama yang lainnya, yakni antara : Agama SUCI (bagi para
suciwan), Agama KSATRIA (bagi para ksatria), dan Agama DOSA (bagi
paa pendosa). Tentu saja, hanya seorang pendosa dan pemeluk “Agama DOSA”
yang membutuhkan iming-iming “too good to
be true” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—suciwan
manakah, yang butuh hal-hal korup semacam “pencucian dosa” (sin laundring)?
Entah karena delusi apa, para
umat “Agama DOSA” demikian membabi-buta membela dan memeluk “Agama DOSA”,
bahkan rela mati dan tega menumpahkan darah kaum lain hanya karena memiliki
keyakinan keagamaan berbeda, dimana agama justru menjadikan manusia yang semula
toleran menjelma demikian “haus darah” dan intoleran. Agama (yang baik)
semestinya menjadikan pemeluknya lebih “humanis” lagi (meningkatkan kadar
kemanusiaan sang pemeluk), barulah dapat mendekatkan diri pada “Tuhanis”,
alih-alih bersikap “premanis”, “aroganis”, “barbariknis”, “hewanis”, dan
“predatoris”. Kita mulai dari kutipan beberapa ayat dari “Agama DOSA”
yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA”, sebagai berikut:
- Umar Khattab, sahabat M terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar
mendekati BATU Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan
lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun
tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat rasul Allah
mencium kau, aku tidak akan menciummu.”
- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa
saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun,
maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘
Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap
kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama
dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan
menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.” [Note :
Siapa yang telah menzolimi siapa?]
- “Pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta
kaki mereka.” [Note : Itulah sumber “standar moral” baru bernama “balas dizolimi
dengan PEMBUNUHAN”.]
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada
para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka, niscaya
Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang
kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang
... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Menjadi sangat kontras bila
kita bandingkan dengan “Agama SUCI” semisal Buddhisme, yang menjadikan Ovada Patimokkha sebagai cara
beribadah sekaligus jantung dan menjadi jiwa esensi dari teladan hidup maupun
ajaran Sang Buddha, dengan kutipan syair sebagai berikut:
Ovada Patimokkha
Sabbapāpassa akaraṇaṃ
Kusalassa upasampadā
Sacittapariyodapanaṃ
Etaṃ buddhāna sāsanaṃ.
Khantī paramaṃ tapo titikkhā
Nibbāṇaṃ paramaṃ vadanti buddhā
Na hi pabbajito parūpaghātī
Samaṇo hoti paraṃ viheṭhayanto.
Anūpavādo anūpaghāto,
pātimokkhe ca saṃvaro
Mattaññutā ca bhattasmiṃ, pantañca sayanāsanaṃ
Adhicitte ca āyogo, etaṃ buddhāna sāsanaṃ.
Tidak
melakukan segala bentuk kejahatan,
senantiasa mengembangkan
kebajikan
dan
membersihkan batin;
inilah
Ajaran Para Buddha.
Kesabaran
adalah praktek bertapa yang paling tinggi.
"Nibbana
adalah tertinggi", begitulah sabda Para Buddha.
Dia yang
masih menyakiti orang lain
sesungguhnya
bukanlah seorang pertapa (samana).
Tidak
menghina, tidak menyakiti, mengendalikan diri sesuai peraturan,
memiliki
sikap madya dalam hal makan, berdiam di tempat yang sunyi
serta giat
mengembangkan batin nan luhur; inilah Ajaran Para Buddha.
[Sumber: Dhammapada syair nomor 183-184-185.]
Semua orang sanggup, menjalani
ritual yang semudah dan segampang sembah-sujud ataupun menyanyikan lantunan
lagu berisi puja-puji—seolah-olah Tuhan adalah sesosok personifikasi layaknya
manusia yang tergila-gila dipuja-puji dan menyukai musik ataupun paduan suara
berisi puja-puji penuh “narsistik”, dan akan murka bak raja yang lalim ketika
tiada hamba yang melakukan sembah-sujud ke hadapan sang raja lalim. Namun,
tidak semua orang mampu dan sanggup menjalankan ovada patimokkha yang terdiri dari setidaknya tiga unsur paling
utama, yakni : Tidak menyakiti / merugikan / melukai makhluk hidup manapun,
rajin berbuat kebaikan, dan mensucikan pikiran lewat latihan meditasi.
Untuk memuliakan Tuhan, satu-satunya cara yang paling dapat
dipertanggung-jawabkan ialah dengan cara menjadi manusia yang mulia, bukan yang
pandai “bersilat lidah” maupun “lip
service”.
Lebih banyak dapat kita jumpai
orang-orang yang mengaku “agamais” dan mengaku-ngaku ber-“Tuhan” di luar sana,
yang lebih senang dan merasa bangga (tanpa rasa malu terlebih merasa takut)
untuk berbuat jahat seperti menyakiti, melukai, dan merugikan orang lain,
lantas dengan korup-nya hendak mencuci tangan yang berlumuran darah dengan
termakan iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”,
bahkan menjelma “too big to be fall”
akibat dosa-dosa yang telah menggunung, sehingga tiada opsi lain selain secara
membuta meyakini keyakinan korup (“Agama DOSA”) yang dipeluk olehnya tersebut.
Perihal berbuat kebajikan, para
“agamais” tersebut lebih sibuk menyembah dan “menjilat” Tuhan (lip service) ketimbang secara nyata
berkontribusi kebaikan bagi masyarakat, umat manusia, makhluk hidup, maupun
kelestarian alam (flora dan fauna maupun planet Bumi ini sendiri). Mereka
meyakini (keyakinan kaum “pemalas”, tentunya), segala sesuatu cukup
diminta dan dimohonkan, maka segala sesuatu akan jatuh dari langit berupa “nikmat”
yang sifatnya “diberikan” dan “dimohonkan”, bukan berkat buah Karma Baik yang
berbuah hasil dari menanam pada masa sebelumnya, namun berkat praktik “menjual
/ menggadaikan diri” (penyembah-sujud layaknya praktik perbudakan dengan segala
ancaman hukuman bila tidak melaksanakan “kewajiban” untuk menyembah demikian).
Alhasil, hanya umat Buddhisme
yang layak mendapatkan gelar sebagai seorang “penanam yang rajin” ibarat petani
yang tekun bekerja keras membajak dan menanami ladangnya hingga subur dan
bertumbuh aneka ragam buah-buahan dan sayur-mayur yang sehat, manis, dan
menyegarkan untuk dinikmati manisnya, secara berdaya, penuh harga diri,
swadaya, disamping mandiri terhadap nasib dan hidupnya sendiri—sebagai arsitek
dan perancang atas hidupnya sendiri, alih-alih menjual diri dan jiwa menjadi
pengemis yang hanya pandai dan tahu meminta, bersujud, dan memohon, dimana
disaat bersamaan tumbuh sifat-sifat penuh kemalasan khas milik para pemalas. Karena
diri kita sendirilah, yang menjadi arsitek atas hidup kita sendiri, maka diri kita
sendiri yang paling bertanggung-jawab atas suka dan duka hidup kita, tidak
dapat lagi menyalahkan langit ataupun Tuhan, karenanya disaat bersamaan menutup
potensi “kriminalisasi” terhadap sosok Tuhan yang dibiarkan agung tanpa
intervensi, politisasi, ataupun favoritisasi.
Faktor ketiga, yakni mensucikan
pikiran, dimana latihan berupa meditasi sudah secara sendirinya menggeser para
pemeluk “Agama DOSA” dari rasa bangga penuh delusi sebagai umat dari agama
paling rajin beribadah. Ibadah para umat “Agama DOSA”, sekalipun dilakukan
sepuluh kali dalam sehari sekalipun, tidak mampu menandingi rajinnya umat Agama
Buddha dalam beribadah berupa meditasi, menghindari perbuatan-perbuatan buruk
tercela, dan rajin menanam Karma Baik, tanpa embel-embel “maksiat namun
bermeditasi, masuk surga”.
Karenanya, adalah delusi bila
umat “Agama DOSA” memandang bahwa dirinya atau kaumnya-lah yang paling superior
di atas muka Bumi ini sehingga dalam praktiknya selalu meminta untuk dihormati
seperti ketika “bulan Puasa” (dimana ironisnya konsumsi justru meningkat,
terlihat dari indikator bahan kebutuhan pokok yang SELALU meningkat drastis
pada “bulan Puasa” umat “Agama DOSA”)—meski, praktik puasa dalam Buddhisme,
jauh lebih berat dan lebih penuh latihan, hanya makan dari sejak matahari
terbit hingga matahari berada tepat tegak lurus di atas kepala atau tengah hari,
tanpa minta dihormati, tanpa minta dihargai, terlebih menuntut agar orang lain
menjalani puasa yang sama seperti dirinya dengan mewajibkan rumah makan untuk
tutup. Disebut latihan dan berlatih, artinya bukan menyingkirkan objek godaan
berupa makanan saat berpuasa, namun menghadapi dan melampauinya secara elegan
dan tangguh secara mental maupun fisik.
Karena itulah, tidak semua
orang sanggup menjalani ovada pattimokha,
dimana para pelatih dan umatnya disebut sebagai para pejuang dalam arti yang
sesungguhnya, semata kerena memang dibutuhkan sejumlah besar komitmen,
pengendalian diri, tekad, konsistensi, dan usaha yang serius untuk dikerahkan
dalam menjalankan ibadah Buddhistik demikian. Bila dalam “Agama DOSA”, pendosa
yang satu berlomba-lomba menjadi “penjilat” yang lebih rajin “menjilat”
daripada umat seagama dengannya, maka dalam Buddhisme yang ada ialah umat Agama
Buddha yang satu berlomba-lomba menjadi umat yang lebih dan paling baik
daripada umat seagama dengannya, menjadi umat yang paling menghindari perbuatan
buruk tercela, dan menjadi umat yang paling serta lebih rajin berlatih
meditasi. Itulah sebabnya, mendalami Buddhisme menjadikan umatnya yang berlatih
menjadi demikian kontras terhadap umat “Agama DOSA” yang paling rajin—justru
kian rajin, keduanya kian bersenjang dan kontras perbedaannya, Ahimsa Vs.
Radikal.
“Aku tidak mengajar untuk
menjadikanmu sebagai murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi
murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang
lama. Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu, karena setiap orang
ingin lepas dari penderitaan. Cobalah apa yang telah Kutemukan ini, dan
nilailah oleh dirimu sendiri. Jika itu baik bagimu, terimalah. Jika tidak,
janganlah engkau terima.” (Lord Buddha Gotama, Sutta Udumbara)
“Aku akan menderita usia tua,
aku belum mengatasi usia tua.
Aku akan menderita sakit, aku
belum mengatasi penyakit.
Aku akan menderita kematian,
aku belum mengatasi kematian.
Segala milikku yang kucintai
dan kusenangi akan berubah, akan terpisah dariku.
Aku adalah pemilik perbuatanku sendiri
Pewaris perbuatanku sendiri
Lahir dari perbuatanku sendiri
Berhubungan dengan perbuatanku sendiri
Terlindung oleh perbuatanku sendiri
Apapun perbuatan yang kuperbuat
Baik atau buruk
Itulah yang akan kuwarisi.
Hendaklah ini kerap kali
direnungkan.” (Lord Buddha)
Menjadi kontras terhadap tokoh
“nabi” atau “rasul” dari “Agama DOSA”, salah satunya dapat dicerminkan lewat
ayat kutipan berikut yang cukup mencerminkan pengakuan dari “Kitab DOSA”
bersangkutan : A!syah bertanya kepada sang Rasul, mengapa suaminya menyembah
hingga malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Tuhan telah mengampuni dosa
Rasul baik yang dulu maupun yang akan datang? Sang Rasul menjawab, “Tidak
bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” Kontras dengan itu, Sang
Buddha TIDAK MEMBUTUHKAN PENGHAPUSAN DOSA SEKECIL APAPUN.
Hanya seorang pendosa, yang
membutuhkan dan mengandalkan “pengampunan dosa” (postulat Agama DOSA). Toh
sekalipun hendak meminta maaf, maka itu menjadi hak prerogatif korban untuk
bersuara menyetujui ataupun menolak pemberian ampun, bukan menjadi hak Tuhan
untuk menentukan. Bahkan dalam hukum pidana, anggota keluarga korban pembunuhan
yang telah memaafkan sang pelaku kriminal, hakim yang arif dan bijaksana tetap
menjatuhi hukuman bagi sang pelaku (terutama dalam “delik umum” non-“delik
aduan”) agar tercipta “efek jera” disamping pembelajaran bagi masyarakat agar
tidak melakukan kejahatan (dosa) serupa.
Kini, kita beralih pada jenis
agama ketiga, yakni “Agama KSATRIA”—yang tentunya, diperuntukkan khusus bagi
para ksatria, bukan para pengecut yang hanya mampu bersembunyi dibalik iming-iming
“pengampunan / penghapusan dosa” ataupun “penebusan dosa”, serta bukan pula
bagi mereka yang begitu penakutnya hingga melarikan diri dari tanggung jawab terhadap
para korban mereka yang menderita luka, sakit, ataupun kerugian. Para ksatria,
adalah sosok yang adil dan penuh tanggung-jawab (jiwa ksatria, jiwa penuh
keberanian).
Karenanya, para ksatria memang
belum suci adanya, masih bisa berbuat keliru, namun pihak korban tidak perlu
sampai menagih tanggung-jawab terlebih mengemis-ngemis agar sang ksatria
bertanggung-jawab terhadap sang korban. Para ksatria itu sendiri yang akan
proaktif bertanggung-jawab sekalipun para korbannya tidak menyadari telah dirugikan,
disakiti, ataupun dilukai. Para ksatria disebut berjiwa ksatria, semata karena
komitmen serta konsistensi mereka untuk bertanggung-jawab, tiada berkelit
ketika berbuat keliru, dan tidak lari dari tanggung-jawabnya terhadap sang
korban.
Sang Buddha dan para siswa-Nya
yang telah mencapai tingkat kesucian Arahat, adalah para makhluk suci BERKAT
USAHA MEREKA SENDIRI. Sementara terhadap para umat yang belum mencapai
kesucian, Sang Buddha mengajarkan kepada para umat perumah tangga analogi
sebagai berikut : Satu sendok garam (buah Karma Buruk) dituang ke dalam satu
gelas air, terasa asin luar biasa. Namun bila garam yang sama dituang ke dalam
satu buah danau (diimbangi dengan menanam Karma Baik), maka akan terasa lebih hambar.
Imbangi perbuatan keliru kita bila memang masih belum dapat dihentikan
sepenuhnya, dengan perbuatan bajik yang jauh lebih besar lagi. Tiada hal korup
semacam “money laundring” dalam
Buddhistik, seperti dogma “Agama DOSA” yang menyatakan bahwa cukup berderma “recehan”
yang tidak sampai 5% dari penghasilannya yang dihimpun secara kotor (penghasilan
dan penghidupan yang tidak benar), maka menjadi “halal” untuk dimakan.
Di mata orang-orang berjiwa
ksatria, tidak dimintakan pertanggung-jawaban oleh korban, bukanlah sebentuk
keberuntungan, namun disadari olehnya hanya menunda Karma Buruk untuk berbuah,
yang pada gilirannya tetap saja sang pelakunya harus “membayar”, bahkan dapat
menjadi cerminan sifat yang tidak menyesali perbuatan buruk seseorang pelaku
kejahatan terhadap orang lain. Salah sebagai salah, diakui. Sementara itu umat “Agama
DOSA” berkeyakinan, dengan berkelit atau tidak diketahui oleh korbannya, maka
mereka tidak telah berbuat dosa.
Rekor terburuk mungkin dicetak sejarahnya
oleh sebuah “Agama DOSA” lainnya yang mengumbar dogma irasional perihal “dosa
warisan” (lantas, dimanakah dan dikorupsi siapakah “harta warisan”?),
menyatakan bahwa umat manusia dilahirkan sebagai pendosa dan untuk berdosa—jika
memang demikian adanya, maka adalah RUGI bila “tanggung-tanggung” sekadar
menjadi “maling ayam”, jadilah “koruptor kelas kakap” (agama yang mempromosikan
umat-umatnya untuk menjadi koruptor, pendosa sejati). Dogma demikian,
diperkeruh oleh dogma “penebusan dosa” (bagi para pendosa, tentunya), menjadi
menyerupai “meminta maaf dahulu sebelum mencuri”. Jadilah, para umatnya berpesta-pora
dosa, dan masih pula mengharap serta yakin akan masuk alam surgawi setelah
kematiannya. Suatu “standar moral” baru yang merusak tatanan prinsip-prinsip bangsa
beradab.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.