(DROP DOWN MENU)

Rezeki sudah Ada yang Atur?! Kata Siapa?

SENI PIKIR & TULIS

Kaitan antara “Rezeki sudah Ada yang Atur!” dan “Tangan-Tangan Tidak Terlihat”, terdapat Benang Merah Korelasi yang Sangat Erat diantara Keduanya

Siapa Sangka, Indonesia Memeluk Paham LIBERAL!SME

Bangsa Indonesia pada era demokrasi ini mengklaim sebagai bangsa yang anti terhadap ideologi komun!sme—namun disaat bersamaan tidak mengutuk ataupun meng-anti-anti-kan paham sebaliknya, liberal!sme. Kita pun patut bertanya, ada apa dengan Bangsa Indonesia? Dalam bahasan kesempatan ini, fokus wacana kita ialah perihal sistem ekonomi ketatanegaraan, terkait ideologi bentuk pemerintahan dalam menyusun model ekonomi negaranya, tanpa perlu melebar dalam bidang politik maupun budaya. Ulasan ini akan mengungkap secara ringkas, betapa mengejutkannya wajah sejati praktik sistem ekonomi yang pada era modernisasi ini terjadi di Indonesia.

Ideologi komun!sme dalam konteks ekonomi, dicirikan oleh sifatnya yang ter-kluster, dalam pengertian dirancang dengan sangat ketat koridor ruang bebas dan ruang gerak bermainnya, oleh pemerintah selaku otoritas moneter dan fiskal lewat berbagai kebijakan ekonomi makro dan mikro. Regulasinya dapat demikian rapat dan keras, ditegakkan secara efektif, konsisten tanpa pandang bulu, dimana keterlibatan otoritas negara di tengah-tengah masyarakat benar-benar hadir dalam mengatur, mengawasi, mengimplementasi kebijakan, dan menerapkan sistem “punish” dan “punishment”.

Adapun terkait kebijakan ekonomi terbuka ataupun tertutup, tampaknya tidak relevan lagi dalam perspektif ideologi suatu negara. Sebagai contoh, sistem ekonomi tertutup yang diterapkan di Korea Utara yang dikenal sebagai negara komun!s, telah ternyata bertolak-belakang dengan sistem ekonomi terbuka diberlakukan di Republik Rakyat China (RRC) yang disebut-sebut juga berhaluan komun!sme, dimana pemerintahan Tiongkok membangun pelabuhan “free trade zone” (kawasan berikat), mengundang berbagai investor asing dan korporasi kapitalistik global untuk masuk dan membangun pabrik serta dinasti kerajaan bisnisnya di China.

Sistem ekonomi tertutup merupakan sistem ekonomi yang “kolot”, dan sudah lama ditinggalkan oleh berbagai negara beradab, karena sistem ekonomi apapun itu, tujuan utamanya ialah untuk mensejahterakan rakyat, tidak perduli sistem ekonomi feodalistik, komun!stik, liberal!stik, ataupun sistem ekonomi demokratik, apapun paham ataupun “warna bulu” seekor kucing, yang penting “dapat menangkap tikus”, alias dapat memakmurkan rakyatnya. Ketika sistem ekonomi “kolot” dipertahankan semata demi melestarikan “kekolotan” itu sendiri, dengan memungkiri betapa “melarat” tingkat ekonomi rakyatnya, jadilah ia sebuah negara yang kerdil di mata dunia dan di mata bangsanya sendiri, cepat atau lambat akan tertinggal jauh dari persaingan global dan terisolir, tersisih hingga menjelma terbelakang akibat terkungkung cara berpikir yang “kolot”.

Yang juga tergolong salah satu sistem ekonomi “kolot”, ialah sistem negara yang didasarkan pada satu keyakinan keagamaan tertentu, sehingga menjadi demikian mengklusterkan dirinya atau wilayah teritorinya sendiri menjelma kurang toleran terhadap kaum yang berbeda, terlebih di mata investor asing bahkan di mata masyarakat sendiri yang majemuk dan plural. Secara sendirinya dan secara perlahan berangsur-angsur, ia akan menjadi negara terbelakang dan tersisih dari pergaulan investor global. Ragam variasi derivasinya dapat kita jumpai di Indonesia, dengan mulai menjamurnya berbagai Peraturan Daerah yang mengkiblat pada “ekonomi syariat”. Salah satunya keadaan di Provinsi Aceh saat kini, daerah otonomi khusus yang berlandaskan pada salah satu keyakinan keagamaan tertentu, tidak banyak dilirik oleh investor lokal terlebih oleh investor asing (pengakuan oleh seorang “anak Aceh” kepada penulis pada suatu kesempatan bertatap muka).

Adapun sistem ekonomi terbuka, bilamana dibiarkan tidak terkendali, alias “keblablasan”, dapat menyerupai sistem negara yang hanya sekadar menjadi “anjing pengawas” (watch dog) semata, tidak masuk untuk mengintervensi pasar seperti dengan tidak memberlakukan kebijakan anti monopoli usaha dan persaingan tidak sehat. Akibatnya, kaum atau kalangan pelaku usaha yang bermodal kuat kian menjelma menjadi besar dan raksasa, memangsa pelaku usaha mikro dan kecil yang gagal untuk bersaing memperebutkan porsi perdagangan di pasar. Semakin terpusatnya kapitalisasi, mengakibatkan kesenjangan sosial kian akut dan melebar tidak terkendalikan.

Vonis ujung nasibnya sudah sangat jelas terjadi pada tipe negara dengan sistem ekonomi terbuka “keblablasan”, yakni yang kaya semakin menjadi borjuis serta terdepan, dan yang miskin semakin “melarat” serta tertinggal. Sistem ekonomi terbuka merupakan suatu kutub ekstrim berkebalikan dari sistem ekonomi seberang, yakni sistem ekonomi tertutup, sehingga sama-sama terjebak pada “kutukan” kekakuan paradigma berpikir, bahwasannya ekonomi suatu negara akan kolaps bilamana tidak membiarkan dirinya dijajah secara ekonomi oleh para pemodal asing bermodal kuat untuk mencengkeram erat dan mengisap sumber daya alam, sumber daya keuangan, dan sumber daya manusia negara bersangkutan, bahkan bermental ketergantungan terhadap investor asing sehingga pemberdayaan para pelaku usaha domestik menjadi terabaikan karena dinilai pemodalannya kurang signifikan untuk melakukan industrialiasi (industry estate). Praktis, tiada negara atau setidaknya hanya terdapat segelintir negara yang menerapkan secara konsisten tipe negara dengan terbuka dan yang sebaliknya, tertutup ala konservasionis.

Adapun sistem ekonomi yang lebih moderat, memberlakukan kebijakan yang menyesuaikan diri (adaptif) terhadap keadaan aktual tingkat ekonomi rakyatnya. Ketika dirasakan terjadi ketimpangan atau kesenjangan ekonomi yang kian lebat, negara lewat otoritasnya perlu membentuk dan menerapkan kebijakan yang sangat elaboratif mengatur ruang gerak finansial dan membatasi manuver bisnis kalangan borjuis agar distribusi sumber daya ekonomi dapat lebih terdistribusi dengan lebih merata. Ketika kalangan kecil dan rakyat jelata paling bawah telah meningkat tingkat ekonominya, pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang lebih liberal dengan melonggarkan kebijakan-kebijakan yang sebelumnya mengatur dengan sangat ketat aktivitas bisnis kalangan menengah dan atas sehingga terbuka ruang akuisisi bisnis yang lebih meluas oleh pelaku usaha dan pemodal untuk melebarkan sayapnya—dimana bila sang pemodal hendak tetap eksis, maka mau tidak mau ia harus mensejahterakan tingkat ekonomi para pekerjanya.

Lantas, sebagai pertanyaan puncak kita, dimanakah posisi sistem ekonomi Indonesia? Penduduk di Indonesia gemar sekali dalam keseharian, melontarkan kalimat berikut : “Rezeki, sudah ada yang mengaturnya!” Secara falsafah, kini kita akan membahas alam batin dan alam pikir masyarakat Indonesia yang gemar membuat jargon-jargon tidak rasional demikian. Yakni merujuk kembali pada postulat yang ditawarkan oleh ekonom bernama Adam Smith, tokoh tersohor pencetus mazhab liberal!sme, yakni bertumpunya sistem ekonomi kerakyatan pada suatu negara dengan membiarkan tarik-menarik kepentingan yang terjadi secara alamiah di pasar, yang dibiarkan bebas sebebas-bebasnya, tanpa intervensi ataupun keterlibatan pemerintah maupun otoritas dibidang perdagangan dan niaga, sehingga dengan sendirinya titik ekuilibrium persilangan antara “supply” dan “demand” (diasumsikan) akan menciptakan tiitk keseimbangan, dan mekanisme yang bekerja dibalik sistem pasar bebas itulah yang kemudian menjadi semacam “tangan-tangan tidak terlihat” (invisible hand) yang dapat kita sandingkan dengan tangan milik “Tuhan” yang selama ini di-identik-kan dengan sang pengatur, sang perencana, dan sang pemutus.

Penulis secara pribadi, bahkan terkejut ketika pemikiran dalam alam berpikir yang saling kait-mengait menyerupai benang laba-laba di kepala penulis kemudian menautkan benang merah antara “invisible hand” (tangan-tangan tidak terlihat, siapa lagi jika bukan tangan milik “Tuhan”?) dan jargon khas masyarakat Indonesia, bahwasannya “Rezeki sudah ada yang atur!”. Artinya, sebagai konklusi yang sangat mendekati kenyataan, masyarakat dan bangsa Indonesia tergolong sebagai bangsa yang liberal cara berpikir dan berekonominya—sehingga tidak mengherankan bila saat kini bangsa Indonesia amat sangat anti terhadap hal-hal berbau komun!sme, baik politik berpaham komun!sme maupun ekonomi berhaluan komun!stik.

Pendekatan ala “Rezeki sudah ada yang atur!”, terbukti telah melahirkan berbagai generasi “melarat” yang penuh pesimistik di Negeri Indonesia pada khususnya. Usut punya usut, kalangan-kalangan di republik ini yang kerap melontarkan jargon-jargon penuh spekulasi semacam “Rezeki sudah ada yang atur!”, hanya dilontarkan oleh orang-orang yang tergolong berpunya, disalah-gunakan untuk melakukan “verbal bullying” terhadap mereka yang gigit-jari dan hanya dapat menjadi penonton ataupun terpaksa sudah cukup bangga bila bisa menjadi sebatas sebagai kalangan konsumen di negeri sendiri dimana para pemodal asing dan korporasi raksasa dalam negeri menjadi pemain yang menguasai hingga menyetir pasar.

Ruang masuk bagi pembodohan, penetrasinya demikian “toxic”, tersembunyi dibalik pernyataan yang mampu mematikan kreativitas dan optimisme, bernama “Rezeki sudah ada yang atur!” Yang selama ini cukup mujur menikmati manis-madu ekonomi, patut merasa bangga karena tergolong diistimewakan oleh “tangan tidak terlihat” sehingga dapat berdelusi sebagai “anak kesayangan Tuhan”, karena diberi kemujuran dalam menghimpun dan mengkapitalisasi berbagai sumber daya ekonomi dan menguasai sendi-sendi sumber daya finansial suatu atau bahkan berbagai negara. Namun bagaimana terhadap mereka yang dikodratkan atau tergolong sebagai kaum terpinggirkan dan tersisihkan dari kancah persaingan ekonomi lokal-domestik di negeri sendiri, terlebih-lebih berbicara perihal pesaingan ekonomi global dan pasar bebas?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.