SENI PIKIR & TULIS
Manusia Lebih Tinggi Derajatnya daripada Jin maupun
Setan, Itulah Fakta Paling Utama yang Perlu Kita Ketahui dan Sadari
Jangan Takut, Jadilah Lebih Kuat serta Lebih Berani daripada
Segala Kekuatan Makhluk yang Lebih Rendah Derajatnya daripada Manusia
Indonesia, ialah negeri dimana jumlah setan dan jin berkeliaran begitu masifnya dan merajalela, dimana para manusia yang bersekutu dengan para setan dan jin tersebut (ironisnya) tidak kalah masifnya—disamping fakta bahwa, manusia yang menjadi korban gangguan maupun praktik tumbal (semacam pesug!han) dari manusia-manusia jahat-serakah tersebut ialah sama masifnya. Bangsa Indonesia mengaku dan berpenampilan (berbusana) serta berkegiatan bak “agamais” (rajin ritual religius keagamaan) dimana ayat-ayat berkumandang dan bersahut-sahutan, namun disaat bersamaan kerap bersekutu dengan bangsa jin dan setan secara di balik layar.
Manusia-manusia yang bersekutu
dengan makhluk dari “alam apaya”
(alam “tanpa kesenangan”, seperti setan, jin, hewan, dan makhluk penghuni
neraka), seperti untuk meminta, memohon, dan bekerjasama dengan makhluk-makhluk
yang akibat buah Karma Buruknya terlahir di alam rendah tersebut, sama artinya
telah merendahkan martabatnya sendiri, sehingga layak disebut sebagai “Manusia
Hewan” menurut Sang Buddha. Sementara itu manusia-manusia yang
menjadikan luhur watak dan karakternya, merupakan para “Manusia Manusia”.
Adapun manusia yang menempuh jalan praktik hidup kesucian, disebut sebagai
“Manusia Dewa” menurut terminologi Buddhistik.
Ulasan ini disusun oleh
penulis, yang merupakan salah satu korban nyata-nyata dari praktik ilmu hitam
perdukunan—yang mana kerap kali pelakunya ialah manusia yang notabene orang
terdekat dari kita itu sendiri, seperti kerabat, teman, ataupun tetangga hingga
anggota keluarga dan orangtua kandung yang semestinya melindungi dan mengasihi
diri kita. Semua dukun, termasuk dukun jahat, mengaku mendapat ilmunya dari
“Tuhan”. Tiada dukun yang sakti karena kemampuannya sendiri, namun semata
karena bantuan makhluk “alam apaya”
yang telah saling mengikatkan diri dalam perjanjian hitam diantaranya. Jin,
merupakan makhluk dari alam “asura”,
memiliki kesaktian yang memang kerap merepotkan umat manusia.
Tujuan dibalik penulisan
artikel ini, ialah bagi para masyarakat (para pembaca) yang juga mengalami
nasib serupa, dijadikan korban (dikorbankan, disakiti, dijahati, ditumbalkan)
oleh praktik-praktik perdukunan jahat (ilmu hitam) maupun gangguan para “hantu
usil yang jahil”, dimana berdasarkan pengamatan pribadi penulis, meski penulis
bukan seorang “cenayang” layaknya “anak indigo”, namun dengan sedikit sentifitas,
dapat penulis sebutkan bahwa sebagian dari masyarakat kita pernah atau
setidaknya sedang mengalami gangguan makhluk tidak kasat mata demikian, baik
“kiriman” maupun karena kebetulan memang diganggu oleh “setan kurang kerjaan”.
Semisal, yang paling masif terjadi, menjadi korban “penglaris” pelaku usaha
kuliner yang memakai ilmu jahat manipulatif semacam “penglaris”.
Kiat pertama untuk bisa selamat
dari jahatnya makhluk-makhluk pengganggu yang mengganggu dan dapat merusak
hidup serta kehidupan pribadi maupun rumah-tangga kita tanpa kita sadari serta
tanpa kita ketahui (semata karena tidak kasat mata terjadinya), ialah dengan banyak-banyak
berbuat kebajikan, dimana dengan demikian Karma Baik kita akan menjadi
“benteng pelindung” yang mampu menyelamatkan nyawa kita pada kehidupan ini
juga.
Tanpa membentengi diri dengan
hal paling utama demikian, maka kiat lain dalam artikel ini menjadi percuma
adanya, karena kiat-kiat lainnya dari penulis dalam ulasan ini hanya bersifat
komplomenter, bukan substitusi dari nilai penting dibalik perbuatan bajik
(perbuatan yang dilandasi dengan niat baik, pengertian baik, upaya baik,
waktu yang tepat, kepada orang yang tepat, serta dengan cara yang benar.
Singkatnya, perbuatan bajik ialah perbuatan baik yang disertai kebijaksanaan).
Para dewa dan para naga, tidak
akan tinggal diam melihat manusia-manusia baik menderita akibat gangguan
makhluk-makhluk dari “alam apaya”.
Manusia-manusia baik adalah langka di dunia ini, karenanya tergeraklah hati
para dewa dan para naga untuk melindungi dan melestarikannya agar tidak “punah”
dari muka bumi. Para dewa dan para naga juga ingin berbuat baik (menanam Karma
Baik) dengan melindungi manusia-manusia baik dari gangguan-gangguan orang-orang
maupun makhluk-makhluk jahat.
Bila kita merujuk pada sutta pitaka, Dewa Sakka (raja dari
para makhluk dewata di alam dewa), akan terbangun dari kursi singgasananya di
istana langit, bilamana terdapat manusia yang berhati luhur dan mulia mengalami
keguncangan jiwa yang sangat hebat, dan akan turun tangan untuk membantu serta
menolong. Getarkan langit dan bumi, dengan menjadi manusia yang luhur, dan berhati
mulia, lewat kebaikan hati kita, maka alam semesta pun akan senantiasa melindungi
kita—itulah “jaminan mutu” menjadi orang baik yang jauh dari sikap-sikap
semacam pemeluk “pengampunan dosa”. Hanya pendosa, yang membutuhkan
“pengampunan / penghapusan dosa”—manusia-manusia berbau “busuk”, karena moralitasnya
buruk, sehingga tidak layak untuk mendapat uluran tangan dari para makhluk
dewata, menurut sutta pitaka.
Kiat kedua, pahami betul cara
kerja para makhluk jahat tidak kasat mata tersebut, yakni bekerja lewat manipulasi
pikiran orang-orang di sekitar kita sehingga tergerak niatnya untuk
menjahati kita, sehingga seolah-olah kita “selalu sial” karena selalu dijahati
orang-orang yang berjumpa dengan kita, serta memanipulasi pikiran kita selaku
korban yang mereka “gelayuti” kemana pun serta dimana pun kita berada. Ciri
khas korban dari gangguan “makhluk apaya” (baik jin maupun setan gentayangan),
ialah mengalami gangguan kejiwaan maupun mental dan pikiran, derajat kecil
hingga hebat, seperti kecemasan, ketakutan, kegelisahan, stres, putus asa,
perasaan tidak berdaya, serta depresi bahkan hingga anomali-anomali semacam
kehilangan waktu, kehilangan orientasi, kehilangan semangat hidup, dan lain
sebagainya.
Untuk mengalahkan
makhluk-makhluk jahat tidak kasat mata demikian, bukanlah mustahil, namun
niscaya, dimulai dengan benar-benar memahami maksud dan tujuan mereka, yakni kembali lagi gangguan
dilancarkan ketika mengganggu kita ialah untuk membuat kita tertekan dari segi
pikiran dan batiniah. Karenanya, kita perlu melakukan / menerapkan strategi
perlawanan dengan melawan secara cerdik, yakni bertindak berkebalikan dari
apa yang memang mereka kehendaki. Sebagai contoh, ketika kita menjadi
pemurung dan bermuram durja, maka kita perlu seketika itu pula menyadari, bahwa
itulah yang memang mereka kehendaki, karenanya kita perlu membuat diri kita,
mendorong diri kita, atau setidaknya bertindak seolah-olah kita sedang ceria,
bahagia, gembira, serta senyum—dan benar-benar tersenyumlah dari bibir dan raut
wajah Anda secara sepenuhnya dari hati terdalam Anda!
Ketika kita menjadi tidak
produktif, sebagaimana kehendak makhluk-makhluk jahat tidak kasat mata
demikian, maka kita perlu berjuang untuk menjadi produktif. Pasrah, bukanlah
opsi pilihan dalam menghadapi makhluk-makhluk jahat tidak kasat mata demikian,
sekali lagi, semata karena memang itulah yang dikehendaki oleh para makhluk
jahat dari “alam apaya”, yakni
mencelakai, melukai, merugikan, serta menyakiti diri kita. Jika kita tidak
selamat dan menderita, terpuruk, atau bahkan mulai menyakiti diri kita sendiri,
maka mereka keluar sebagai pemenang yang menang atas diri Anda, dan Anda kalah.
Anda pilih yang mana dan Anda yang layak yang manakah, menderita derita ataukah
berbahagia dalam kebahagiaan? Menyadari akan kebenaran ini, maka Anda telah
separuh jalan mencapai keberhasilan untuk “berdikari” atas hidup Anda sendiri.
Ketika kita tergerak niat
hatinya untuk menyakiti diri kita, maka kita perlu berlatih secara
sungguh-sungguh dan sepenuh hati untuk mulai mencintai diri kita, memberikan
diri kita welas asih, bersabar pada diri sendiri, menjadi penuh “compassion toward ourselves”! Kita semua, tanpa terkecuali, adalah
manusia yang berdaya, sepanjang kita menyadari keberdayaan “kehendak dan
pilihan bebas” kita yang tidak ditelantarkan begitu saja oleh kecenderungan dan
tendensi yang bisa jadi hasil dari pengaruh eksternal diri. Bila Anda pikir
bahwa Anda adalah manusia yang lemah, maka Anda benar. Sebaliknya, bila Anda
berpikir, berkeyakinan, serta bertindak seakan Anda adalah orang yang berdaya,
maka Anda juga benar adanya. Hidup adalah persoalan pilihan serta konsekuensi
yang ada dibaliknya.
Ketika kita bertendensi menjadi
stres (stressful), maka kita perlu
menerapkan strategi cerdas seperti “become
cheerful”, yakni dengan mulai berani untuk menikmati hidup dan kehidupan,
melihat hidup secara lebih berwarna, menjadi ceria penuh gembira, memberikan
diri kita hadiah-hadiah kecil yang menggembirakan, serta memulai kehidupan
secara lebih riang serta lebih penuh humor (dengan menjadi humoris). Sadarilah,
menjadi stres bisa jadi adalah pengaruh makhluk-makhluk jahat tidak kasat mata
yang memang menginginkan kita untuk jatuh pada kondisi depresi dan “tenggelam”
dalam derita serta keterpurukan. Stres, karenanya, bukanlah opsi untuk dipilih.
Menjadi bahagia dan ceria, itulah pilihan kita satu-satunya. Titik, tanpa
negosiasi untuk satu hal ini.
Mereka akan senang ketika
melihat korban mereka berjatuhan. Kita perlu membuat mereka gagal sepenuhnya
serta “mengejek mereka”, dengan memutar-balik keadaan, dengan menyadari
sepenuhnya bahwa kita adalah tuan atas tubuh dan pikiran kita sendiri, sehingga
kita sendiri pulalah yang paling berhak sepenuhnya menentukan dan menjalani
kehidupan kita sendiri. Menyerah pasrah dan membiarkan mereka tertawa senang
karena menang dengan berhasil membuat kita terjatuh tanpa kembali bangkit,
bukanlah opsi untuk dipilih, serta singkirkan itu dari “kamus hidup” kita.
Bangkit, lawan, serta
putar-balik kondisinya dengan mengkondisikan hidup kita sebagaimana kita
kehendaki dan idealkan, itulah pendekatan serta strategi paling rasional serta
paling berdaya yang dapat kita lakukan sebagai manusia paling awam sekalipun yang tidak memiliki kemampuan
adidaya sebagaimana para manusia “sakti” yang mampu bertempur secara frontal
adu pukul dengan para setan dan jin jahat. Sederhananya, kita tentu ingin
hidup secara bahagia, dan kita berhak serta layak hidup secara bahagia. Maka,
jadilah bahagia dan berbahagia. Jangan biarkan orang lain maupun
makhluk-makhluk tidak kasat mata merenggutnya dari kita ataupun menghalangi
kita untuk bahagia dan gembira dalam hidup kita sendiri. Dimulai dengan
hidup secara lebih gembira, ceria, riang, tidak stres, produktif, berdaya, powerfull, optimis, termotivasi, antusiastik
(antusias dalam setiap waktu dan setiap aktivitas), penuh semangat, positive, memiliki impian serta harapan,
dan cita-cita untuk dikejar dan dituju.
Sama halnya, ketika kita
mengalami kondisi gelisah maupun takut (dicekam ketakutan, bahkan ketakutan
yang sangat irasional seperti takut bila ada kurir yang mengetuk pintu pagar
kediaman kita), maka kita patut menaruh curiga bahwa “ada yang tidak beres
dengan diri kita”, dan kita butuh pertolongan, yakni “self help” dengan menyadari bahwa memang itulah yang
dikehendaki makhluk-makhluk jahat tidak kasat mata tersebut, yakni ingin
melihat kita jatuh dalam kondisi serta ketakutan serta gelisah, cemas, depresi,
stagnan berjalan di tempat, paralyze,
terpaku di tempat, serta tidak produktif.
Solusinya, lawan dengan membulatkan tekad serta aspirasi
diri kita sendiri, dengan menjadi “berdikari” (berdiri di atas kaki dan pikiran
kita sendiri) dari segi pikiran, keinginan, serta tekad, yakni dengan mengkondisikan
sebaliknya, yakni rutin bermeditasi, penuh semangat, tidak takut, tenang,
cerdas, cerdik, berdaya, produktif, optimis, berfokus pada pekerjaan dan
aktivitas alih-alih tenggelam dalam kecemasan, serta tidak membiarkan diri
kita dikungkung oleh perasaan stres sekecil apapun. Mulailah menikmati
hidup kita, dengan tidak bersikap terlampau serius sepanjang hari (serius dalam
bekerja boleh dan bagus, namun tidak sepanjang hari), memberikan diri kita
kesempatan berlibur, memanjakan diri, berikan diri hadiah-hadiah kecil secara
berkala, hibur diri dengan suguhan hiburan, memberikan kecintaan dan welas asih
penuh kehangatan terhadap diri kita sendiri—mulai membiasakan diri untuk merawat
diri dan menyayangi diri serta hidup kita yang terlampau berharga ini untuk
disia-siakan oleh makhluk “jelek” dan “buruk rupa” dari “alam apaya”.
Kiat ketiga, yang tidak kalah
pentingnya, ialah dengan cara hidup pada masa kekinian dan benar-benar hidup
pada masa kini (current / present moment).
Para makhluk-makhluk jahat tidak kasat mata demikian, bekerja pada tataran
“alam bawah sadar” ketika mencoba memanipulasi pikiran dan mengintervensi jiwa
kita. Satu-satunya cara mengatasi intervensi semacam itu, ialah dengan cara
membangkitkan kekuatan “alam sadar”, dimana ketika “alam sadar” muncul ke
permukaan, bahkan menjelma “superpower
mindfulness”, maka “alam bawah sadar” akan tenggelam ke dasar samudera
pikiran.
Keduanya, antara “alam sadar”
dan “alam bawah sadar”, tidak dapat eksis di permukaan pikiran kita secara
bersamaan pada satu momen, karenanya kita perlu berlatih penuh kesadaran dengan
tetap berkesadaran sepanjang waktu dan sepanjang hari, dimulai dengan bersikap
lebih santai, tidak tegang, dan melepaskan kecemasan akan apa yang telah terjadi
dimasa lampau maupun ketakutan terhadap apa yang akan terjadi dimasa mendatang
maupun momen-momen yang belum terjadi (dan memang bisa jadi apa yang sebelumnya
kita cemaskan ternyata belum tentu terjadi dan seringkali tidak betul-betul
terjadi dalam kenyataannya). Sepenuhnya hidup pada kekinian, sadar sepenuhnya,
eling, mindful.
Bila kita membutuhkan semacam
“pegangan”, agar tidak goyah (itulah fungsi utama “pegangan”, yakni untuk
berpegangan agar tidak goyah ketika mengalami guncangan mental), maka kita dapat
menggunakan “mantra” berikut yang dapat kita jadikan kalimat “sugesti diri”
super efektif yang kita sampaikan secara berulang-ulang kepada benak diri kita
sendiri baik secara lisan maupun dikatakan di dalam hati, berkesinambungan secara
lembut serta penuh kebaikan, “Semoga saya
tegar dan kuat. Semoga saya tegar dan kuat. Semoga saya tegar dan kuat.”
Kiat terakhir, sebagai tambahan
meski bukan yang terakhir, ialah ketika kita telah berjuang semampu yang kita kerahkan,
namun tetap juga “babak belur”, maka sudah saatnya menerapkan strategi “melepaskannya”
(letting go). Maksudnya ialah, kita melepaskan
rasa takut maupun rasa cemas dan gelisah yang selama ini bersarang dalam
pikiran dan batin kita. Ketika kita melepaskan mereka, memang kita tidak menjelma
menjadi pemberani, namun setidaknya kita menjadi pribadi yang “tidak takut”, “tidak
cemas akan masa lampau maupun masa belum terjadi”, “tidak gelisah”, “tidak
putus asa”, “tidak tidak berdaya”, “tidak pesimis”, “tidak ber-negative ataupun ber-positive thinking”, “tidak menyerah”, “tidak
pasrah”, “tidak bertekuk lutut”, dan sebagainya.
Setidaknya, kita tidak
bersekutu, tidak tenggelam, dan tidak membiarkan rasa takut, cemas, gelisah,
maupun perasaan-perasaan negatif lainnya tersebut menguasai serta melumpuhkan diri
kita, itulah seni “melepas”. Kita menjadi berdaya dengan cara “melepas”, itulah
paradoks kehidupan. Kita berhak untuk hidup secara bahagia, sehat, produktif,
berdaya, gembira, riang penuh keceriaan, dan kita pula berhak untuk mengejar
serta memiliki hidup yang bermakna. Ini adalah hidup dan kehidupan kita sendiri
yang sedang kita jalankan. Maka, beranilah untuk mengambil-alih sepenuhnya
terhadap waktu, atas pilihan hidup, serta kehidupan kita sendiri. Menjadi sadar
atas hidup kita sendiri, pada saat itulah kita mampu “berdikari” atas hidup dan
kehidupan kita sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.