SENI PIKIR & TULIS
Bila Korupsi sama dengan Mencuri, dan Pencuri bisa
Masuk Surga bila Menyembah Tuhan (Ritual Sembah Sujud), maka Koruptor pun Yakin
Seyakin-Yakinnya akan Masuk Surga serta Berhak Diampuni Dosa-Dosanya
Agama Korup bagi Orang Korup yang Korupsi, Berbuat Dosa pun masih Mengharap Masuk Surga. Lantas, bagaimana dengan Nasib Korban?
Terdapat sebuah “Agama DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA”, mengiming-imingi umatnya yang berbosa, bahkan mempromosikan dosa dan perbuatan dosa untuk dilakukan serta dikoleksi serta ditimbun hingga berkubang bahkan pula berlumuran dosa: [NOTE : Artikel ini tidak menyebutkan nama satu agama tertentu, sehingga bila ada yang merasa tersinggung karenanya, itu menjadi urusan pribadi yang bersangkutan]
- Umar, sahabat M terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati BATU
Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau
hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat
mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat rasul Allah mencium kau,
aku tidak akan menciummu.” “Malaikat
menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal
dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.
Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun
dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap
kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama
dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan
menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.” [Note :
Siapa yang telah menzolimi siapa?]
- “Pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta
kaki mereka.” [Note : Itulah sumber “standar moral” baru bernama “balas dizolimi
dengan PEMBUNUHAN”.]
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada
para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka,
niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang kafir
dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang
... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Setelah segala perbuatan jahat
demikian yang justru dipromosikan, mentolerir perbuatan jahat, kompromistis
terhadap maksiat (namun disaat bersamaan intoleran terhadap kaum yang berbeda
yang mereka sebut sebagai “Kafir”, mengkafir-kafirkan sebagai ciri khas
paling utama dari praktik ideologi teror!sme sebagaimana disebutkan oleh Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme), masih pula para umatnya diberikan iming-iming
janji surgawi berupa berbagai dogma-dogma penghapusan / pengampunan dosa (ayat-ayat
tentang menjalankan ritual puasa, praktik sembah sujud sekian kali untuk setiap
harinya (lebih sibuk menyembah ketimbang menyibukkan diri menanam perbuatan
baik), melakukan kurban terhadap hewan, melakukan jiarah ke luar negeri
berbiaya mahal tempat “batu yang dicium” tersebut terletak, dsb)—meskipun kita
ketahui, pengampunan ataupun menolak memaafkan merupakan hak prerogatif pihak korban,
bukan Tuhan, sehingga meminta pengampunan dari Tuhan sama artinya “salah alamat”.
“KABAR BAIK” dimasukkan ke
surga bagi para pendosa yang telah melakukan perbuatan jahat demikian
(menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak lain), sama artinya disaat
bersamaan menjadi “KABAR BURUK” bagi pihak korban-korban mereka selama ini yang
telah banyak bertumbangan dan akan terus berjatuhan korban-korban baru
berikutnya atas kejahatan serupa ataupun yang kian menjadi-jadi tanpa
terkontrol oleh rambu-rambu batasan “standar moral” yang kian dirusak dan
digerogoti oleh dogma-dogma yang mengatas-namakan wahyu “Tuhan” demikian.
Keadilan, merupakan hak dari
korban, itulah prinsip bangsa beradab. Bagaimana mungkin, Tuhan yang semestinya
“Tuhanis” masih kalah “humanis” dengan hakim di pengadilan yang memberikan dan
menjatuhkan sanksi hukuman bagi para penjahat (penjahat sudah pasti pendosa)
agar tercipta “ejek jera” disamping keadilan bagi pihak korban dimana suara-suara
dan aspirasi pihak korban diakomodir oleh pihak hakim di pengadilan. Mengapa
terkesan, seolah-olah Tuhan justru sama sekali tidak mengindahkan eksistensi
dan derita korban yang butuh didengarkan dan dihargai tuntutannya ataupun
suaranya agar diberikan keadilan dengan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya bagi
pihak pelaku kejahatan yang bahkan tidak menyesali perbuatan jahatnya ketika
menyakiti dan melukai korbannya?
Pihak pendosa tersebut mendalilkan,
lebih tepatnya berkelit meski tanpa satupun dasar berpijak bagi argumentasinya
seperti ayat-ayat dalam Kitab agama mereka, bahwasannya bagi para pendosa
tersebut yang telah mencuri ataupun berzinah, tetap akan masuk ke surga pada akhirnya,
namun terlebih dahulu “diobok-obok” oleh Tuhan mereka. Pertanyaan yang patut
kita kemukakan kemudian ialah, “diobok-obok” di alam manakah? Berarti, selain
alam dunia manusia, alam neraka, dan alam surga, masih ada satu alam lagi,
yakni alam persinggahan untuk menjadi tempat “di-obok-obok-nya” para pendosa
yang telah mencuri dan berzinah tersebut—suatu alam imajiner penuh khayalan dan
fantasi liar milik para pendosa.
Bukankah dasar ayatnya sudah
jelas menyebutkan, adanya “KABAR BAIK”,
disamping ratusan ayat lainnya yang mengiming-imingi “penghapusan / pengampunan
dosa” bagi para pemeluknya yang melakukan praktik sembah-sujud dikeseharian
maupun praktik puasa (perihal ayat-ayat penghapusan dosa dengan melakukan puasa
selama sebulan penuh, bahkan disebutkan bahwa seluruh dosa selama satu tahun lamanya
akan dihapuskan, suatu ajang “obral pengampuann dosa”, yang mana artinya mereka
bebas berbuat jahat selama sebelas bulan dalam setahun, lantas “cuci dosa”
selama satu bulan cukup semudah berpuasa yang ironisnya tingkat konsumsi justru
meningkat terlihat dari indikator harga pangan yang selalu meningkat drastis di
bulan puasa), melakukan kurban (merampas nyawa alih-alih melepaskan dan memberi
kehidupan), menegakkan kerajaan “Tuhan” (dengan menumpahkan darah kaum yang
berbeda), dan lain sebagainya.
Hal demikian tidak konsisten
terhadap dalil umat agama bersangkutan ketika mencoba merasionalisasi dan
berkelit dari bukti ratusan ayat yang ada dalam Kitab agama yang bersangkutan
perihal “penghapusan / pengampunan dosa”—yang artinya, disaat bersamaan sang
umat itu sendiri yang menafikan dan menista ayat-ayat agamanya sendiri dengan
memungkiri dan menyatakan berkebalikan dari ayat-ayat yang ada yang sudah
sangat tegas dan eksplisit menyebutkan “penghapusan / pengampunan dosa”—suatu
agama baru, agama versi fantasi dan imajiner ciptaan para pendosa yang demikian
manipulatif disamping eksploitatif terhadap praktik per-dosa-an.
Hal tersebut juga tidak
konsisten terhadap antar ayat dalam Kitab agama bersangkutan, dimana ayat-ayat
lainnya dari Kitab yang sama disebutkan bahwa mencuri dijatuhi hukuman berupa
di-potong-nya tangan sang pencuri, dan bagi pelaku zinah diberi sanksi hukuman
berupa rajam di depan umum. Klaim-klaim akan adanya “alam persinggahan” untuk “diobok-obok”
sebelum dimasukkan ke surga, menjadi tidak konsisten antar dalil dan antar
ayat, yang tegas-tegas menyebutkan “KABAR
BAIK” disamping adanya dogma-dogma “penghapusan / penebusan dosa” serta
“potong tangan” disamping hukuman “rajam” di dunia manusia bagi para umatnya
yang melakukan praktik dosa seperti mencuri dan berzinah.
Jika mencuri saja, ancaman hukumannya
di dunia manusia, ialah potong tangan, maka bagaimana dengan korupsi, apakah
hukumannya di dunia manusia dan di alam baka setelah kematian menjelang? Berzinah
saja tetap masuk surga, terlebih “hanya” sekadar korupsi? Korupsi, siapa takut?
Mereka merasa sudah mengantungi tiket masuk menuju alam surgawi, karenanya
mereka tidak lagi menaruh waspada terhadap perilaku mereka terhadap sesama
manusia ketika hidup sebagai manusia.
Ironi berikutnya ialah ketika
sang pencuri dan pelaku zinah (dan para pendosa lainnya) pada akhirnya dimasukkan
ke alam surga, maka sang pencuri dan penzinah akan kembali berbaur hidup
berdampingan sebagai tetangga bersama para korbannya sebagai sesama penghuni
alam surgawi, yang mana itu berarti alam surgawi akan menyerupai “dunia manusia
versi kedua”, dimana para korbannya akan kembali menjadi korban untuk kedua
kalinya, dan sang pelaku kejahatan (para pendosa) akan kembali berbuat dosa
untuk kedua, ketiga, dan kesekian kalinya.
Disebutkan pula, para pendosa
tersebut yang dimasukkan ke alam surgawi, akan hidup bertetangga dengan
rasulnya, hal mana sangat tidak logis disamping harapan yang kelewat irasional,
mengingat bisa jadi kita hidup dan bertempat tinggal satu provinsi dengan
seorang presiden, namun apakah artinya kita bertetangga dengan sang Bapak Presiden?
Sudah miliaran manusia hidup di muka bumi selama ribuan hingga jutaan tahun
umur umat manusia, karenanya alam surgawi saat kini sudah penuh sesak dihuni
oleh para pendosa, sehingga tanah-tanah di surga tentunya sudah dikapling-kapling
oleh para pendosa yang terlebih dahulu menjadi penghuni alam surgawi.
Ketika para penjahat tersebut tidak
merasa malu dan juga tidak merasa takut untuk berbuat jahat dan menjadi pendosa
yang berbuat dosa, mengoleksi berbagai dosa, menimbun banyak dosa, dan
termotivasi untuk memproduksi dosa sebanyak-banyaknya dengan pola pikir (mindset) berupa “MERUGI, bila tidak memanfaatkan iming-iming penghapusan / pengampunan
dosa. Agar tidak mubazir, maka berbuatlah dosa dan maksiat sebanyak-banyaknya!”,
maka pada saat itulah menjadi sebentuk “petaka sosial” bagi peradaban umat
manusia yang menjadi terancam akan menjadi korban membabi-buta para umat pendosa
(umat “pengampunan dosa”), dimana pendosa yang satu akan berpikir, “Sungguh MERUGI bila hanya sedikit berbuat dosa,
karenanya lebih baik menjadi koruptor kelas kakap ketimbang menjadi seorang
pencuri sandal belaka!”
Mari kita kilas balik sejarah
perkembangan umat manusia sejak zaman prasejarah hingga era bersejarah. Dahulu
kala, sebelum lahirnya agama “samawi”, tiada satupun pendosa yang mengharap
akan masuk ke alam surgawi setelah ajal menjelang. Selama jutaan tahun
lamanya, umur umat manusia, dimana semuakah para arwah nenek-moyang kita saat
kini? Kini, para pendosa berbondong-bondong dan berlomba-lomba menimbun diri sebanyak-banyaknya
perbuatan jahat dan maksiat (berdosa sebagai seorang pendosa), dimana masih
pula dengan niat batin yang penuh sikap korup, mengharap masuk surga setelah ajal
tiba—dimana tentunya tanpa penyesalan atas segenap banyak perbuatan jahatnya
semasa hidup, tanpa rasa malu, serta tanpa rasa takut.
Itulah, era dimana menjadi
korban sungguh MERUGI, dimana tampaknya “Tuhan” lebih PRO terhadap penjahat dan
pendosa yang tangannya berlinang serta berlumuran genangan darah para korban-korbannya
yang telah tidak terhitung lagi jumlahnya. Penulis menyebutnya sebagai mitologi
yang “too good to be true”,
dimana semata-mata sikap membuta para umatnya yang termakan oleh iming-iming “penghapusan
/ pengampunan dosa”, terutama menjadi korban oleh paradigma berpikir “korup”
dalam diri dan pikiran mereka sendiri, yakni apa yang penulis juluki sebagai “too big to be fall”.
Itulah yang mereka sebut-sebut
sebagai “MERUGI”, yakni merugi bila tidak menjadi pelaku kejahatan (pendosa),
merugi bila hanya bernasib sebagai korban. Itulah zaman dimana “bila tidak memakan,
maka akan dimakan”, cerminan budaya “manusia sebagai serigala bagi
sesamanya”. Itulah petaka sekaligus ancaman terbesar bagi peradaban umat
manusia, dimana “standar moral” umat manusia bergeser menjadi demikian gelap,
terbelakang, korup, dan dijajah serta terjajah oleh dosa para pendosa—suatu era
kegelapan yang menandai titik-balik kerusakan dan runtuhnya moralitas umat
manusia yang kian lebih menyerupai “hewanis”, “predatoris”, “aroganis”, serta “karnivorais”,
disamping “premanis”.
Bagi mereka, para pendosa
pemeluk “Agama DOSA” tersebut, barulah menjadi kejahatan terbesar yang tidak
dapat diberi kompromi, “ruang nafas”, terlebih tolerir, bila tidak menjadi umat
yang seiman dengan mereka, dimana “Bhinneka Tunggal Ika” benar-benar mereka
benci, musuhi, perangi, dan nistakan bahkan lebih rendah harkat dan martabatnya
daripada seekor hewan sekalipun. Bagaimana mungkin serta dimana letak
rasionya, bila terhadap dosa dan maksiat, mereka demikian kompromistis dan
toleran, namun demikian “haus darah” disamping intoleran terhadap kaum yang
memeluk keyakinan berbeda—dimana bahkan agama yang sama namun hanya karena
alasan sekte atau aliran yang berbeda sekalipun, mereka saling bantai dan
saling menumpahkan darah satu sama lainnya. Itulah yang ekrap penulis sebut
sebagai “akal sakit milik orang sakit”.
Itukah, yang disebut sebagai “berkah
bagi alam semesta”, ataukah “petaka bagi peradaban umat manusia”? Anda, siapapun
itu, tidak dapat membohongi suara hati dan nurani Anda sendiri, terkecuali
batin dan mental Anda telah dicemari oleh polutan yang demikian akut, yakni
ideologi “Agama DOSA” yang berwarna hitam pekat dan gelap, sebagaimana sinar dan
cahaya tidak dapat menembus “iman setebal tembok beton”, dimana umat pemeluknya
bukan menjadi seorang suciwan bila mendalaminya, namun sebaliknya justru
menjadi kian berdosa dan lebih berdosa lagi sebagai “pendosa tulen”, dimana
sikap moderat merupakan sebuah penyimpangan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.