ARTIKEL
HUKUM
Yang Melanggar dan Menista Pancasila, ialah Orang Indonesia
sendiri yang Mengaku-ngaku “Agamais”
Yang Melanggar dan Menafikan Sumpah Pemuda, ialah Orang Indonesia sendiri yang Mengaku-ngaku Warga Negara Indonesia
Tiada yang lebih tidak nasionalis, ketimbang mereka yang justru memiliki haluan radikal hendak meniadakan dan menggulingkan Pancasila dari jabatannya selaku ideologi negara Republik Indonesia, sebagaimana pondasi dan pilar paling mendasar yang dibangun dan diwariskan oleh segenap “founding fathers”. Tiada yang lebih patut disebut sebagai pengkhianat, ketimbang mereka yang justru kerap melanggar sumpah bangsa mereka sendiri—dalam hal ini ialah “Sumpah Pemuda” yang salah satunya memiliki ikrar “Berbahasa satu, yakni Bahasa Indonesia!”
Di Indonesia, setidaknya kita
jumpai dua bentuk penyimpangan terhadap salah satu ikrar dalam “Sumpah Pemuda”,
yakni sikap masyarakat dan gaya bahasanya yang mana bila tidak “kebarat-baratan”,
maka “kearab-araban”. Kita patut merasa miris melihatnya, namun setidaknya “kebarat-baratan”
tidak mengacu pada satu agama tertentu dan masih membuka ruang toleransi antar
umat beragama. Bahkan sebagian diantara para kaum muda bangsa Indonesia bersikap
“kejepang-jepangan” sekalipun Jepang tercatat dalam sejarah sebagai penjajah
paling keji dan paling tidak berperikemanusiaan—yang mana saat kini masih
menjajah kita dari segi produk manufaktur (dijadikan buruh negeri sendiri),
teknologi (sebagai konsumen), dan sumber daya ekonomi.
Penulis kerap dibuat bingung
dan heran, sebenarnya ini adalah Negara Indonesia yang berbahasa Indonesia dan
majemuk dari segi suku, agama, dan ras, ataukah Arab Saudi dimana berbahasa
Arab serta intoleran (tiada penghormatan, pengakuan, maupun ruang bebas dan penghargaan)
terhadap agama-agama lain diluar Islam. Agama Buddha dan Hindu, sudah ada jauh
sebelum masuknya agama Islam di Nusantara, sehingga sedari sejak awal nenek moyang
bangsa Indonesia memang telah majemuk adanya, sehingga menjadi aneh bilamana
kaum muslim hendak memberangus kemajemukan itu dengan menumbangkan Pancasila
(sila “Bhinneka Tunggal Ika”) demi tegaknya sistem pemerintahan “khilafah” yang
hanya mengakomodir agama Islam dan tidak memberi ruang gerak maupun ruang nafas
(terlebih ruang berkembang) bagi agama-agama lain diluar Islam—sekalipun pada
mulanya Islam masuk ke Nusantara dan bisa berkembang berkat toleransi yang
mereka nikmati dari para umat Buddhist pada abad ke-15.
Delusi yang menyeruak, ialah
kekecewaan mereka terhadap tingkat ekonomi dan pemerintahan, yang dinilai bentuk
negara republik dan demokrasi tidak benar-benar memakmurkan segenap rakyat,
dimana ketimpangan dan kesenjangan kian lebar adanya di Indonesia, karenanya
harapan mereka jatuhkan kepada ideologi “khilafah” yang menawarkan janji-janji manis
bagi mereka—sekalipun faktanya banyak diantara rakyat dan penduduk di Timur Tengah
yang memilih menjadi pengungsi keluar dari negaranya untuk hijrah ke Eropa,
Asia Timur, ataupun ke Benua Amerika. Keadaan di Timur Tengah jauh memadai
kehidupan penduduknya, sehingga menjadi aneh bilamana Timur Tengah hendak
dipindahkan ke Indonesia dengan menafikan segala latar-belakang sejarah dan
budaya bangsanya sendiri, yang sekaligus mengingkari eksistensi nenek-moyangnya
sendiri.
Salah satu contohnya ialah
etika komunikasi paling mendasar yang selalu diterobos dan diselewengkan secara
sewenang-wenang oleh umat muslim di Tanah Air, yaitu betapa “narsistik”-nya diri
mereka ketika berbicara secara tatap muka ataupun secara jarak jauh, sekalipun
mereka mengetahui bahwa kita selaku lawan bicaranya ialah pemeluk keyakinan
keagamaan yang berbeda dengan mereka, sehingga memakai jargon-jargon istilah
keagamaannya secara sepihak terhadap lawan bicara yang menjadi umat pemeluk keyakinan
keagamaan yang berbeda, sudah merupakan bentuk pelecehan disamping pemerkosaan serta
praktik arogansi terhadap agama yang dianut oleh lawan bicara—sekalipun, Bahasa
Indonesia sudah cukup memadai semisal untuk mengucapkan salam dengan kata yang
umum dikenal oleh Bahasa Indonesia ataupun bahasa adat lokal kedaerahan
setempat berupa selamat pagi, permisi, bersyukur, dan sebagainya. Karena itulah,
penulis memilih untuk tidak banyak bicara menghadapi kaum-kaum demikian, bahkan
nomor kontak mereka penulis blokir karena kerap memperkosa agama yang penulis
anut dan peluk.
Etika komunikasi kedua ialah “jangan
sok tahu tentang agama orang lain jika tidak tahu apa-apa”. Pernah terjadi pada
suatu waktu lampau, seorang muslim menghakimi penulis sebagai tidak spiritualis
karena belum membaca seluruh Kitab Suci agama Buddha yang penulis anut dan
peluk. Ketika penulis jawab, bahwa butuh waktu paling cepat sepuluh tahun untuk
membaca dan mempelajari seluruh isi Tripitaka, mengingat Sang Buddha
mengajar selama empat puluh tahun lamanya, para muslim menertawai penulis. Faktanya,
satu lemari buku pun tidak akan muat untuk menampung seluruh kitab Sutta Pitaka yang menjadi salah satu
bagian dari Tripitaka, bahkan banyak diantara umat muslim maupun kristiani yang
kerap “plagiat” terhadap ajaran-ajaran Sang Buddha sekalipun itu menjadi
Hak Moril dan Hak Cipta milik Sang Buddha atas ajaran yang ditemukan
oleh usaha Sang Buddha sendiri pribadi.
Pernah terdapat seorang penipu
yang memakai jargon-jargon agama Islam, meminta-minta dana dari penulis yang
notabene “KAFIR” (dan penulis bangga serta merasa beruntung bisa bersikap jujur
pada diri sendiri dengan memilih untuk menjadi NONmuslim) alih-alih meminta dan
memohon kepada Tuhan yang bersangkutan (rejeki sudah ada yang mengatur!), sekalipun uang yang penulis miliki
diperoleh dan dihimpun dari bahan bakar berupa makanan lauk-pauk berbahan dasar
“hewan babi”, menjadi mengherankan bila ternyata yang bersangkutan hendak
memakan sesuatu yang mereka sebut sebagai “haram”.
Belum apa-apa sudah memperkosa
agama lawan bicara. Belum apa-apa sudah tidak menaruh hormat terhadap agama
lawan bicara. Belum apa-apa sudah melanggar bunyi sumpah dalam “Sumpah Pemuda”.
Belum apa-apa sudah melanggar sila dalam “Pancasila”. Belum apa-apa sudah
menafikan kemajemukan agama, ras, dan suku yang hidup dan bertempat-tinggal di Indonesia
sejak jaman kerajaan dahulu kala. Belum apa-apa sudah melupakan sejarah bangsa
sendiri. Belum apa-apa sudah “kerarab-araban”. Belum apa-apa sudah bersikap
arogan dengan tidak mengindahkan etika komunikasi yang paling mendasar
sekalipun.
Semestinya, mayoritas warga
negara Indonesia tidak lolos tes “wawasan kebangsaan”, mengingat pada
praktiknya pelanggaran terhadap “Sumpah Pemuda” terjadi secara meluas dan
merata secara berjemaah. Yang dianiaya, bukanlah penjajah, namun anak bangsa
sendiri. Begitupula yang ditipu, yang diingkar janji, yang dilecehkan, yang
dikorupsi, yang diperalat, yang dimanipulasi, yang dieksploitasi, pelakunya secara
berulang-kali ialah sesama anak bangsa sendiri. Namun tetap saja, yang dikritik
dan dikutuk oleh para muslim, jika tidak “kafir”, maka Yahudi, Barat, dan Cina.
Disamping itu, nasionalisme pun terkikis berkas kedua sikap yang merongrong Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yakni bila tidak “kebarat-baratan” maka “kearab-araban”.
Jati diri bangsa, diwujudkan
oleh budaya penghargaan terhadap bangsa dan bahasa milik bangsa sendiri, alih-alih terjajah dan
menjadi jajahan budaya serta bahasa bangsa asing, apapun alasannya. Penetrasi bahasa
asing, menjadi pintu masuk ancaman terkikisnya jati diri bangsa yang telah
berakar selama ribuan tahun lamanya, tercerabut satu demi satu dimulai dari
penjajahan dari segi budaya dan bahasa (yang selama ini berperan penting sebagai
tali pemersatu dan perekat atau kohesi suatu bangsa).
Mungkin, kelak, ketika bangsa
Arab atau negara-negara lain di kawasan Timur Tengah hendak menjajah Indonesia,
bangsa kita di Indonesia yang telah kehilangan jati diri kebangsaan, akan
memilih seketika menyerah pasrah untuk melebur dalam penjajahan dan
kolonialisasi bangsa-bangsa Arab, bahkan membuka kebijakan “pintu serta tangan
terbuka” disertai gelaran karpet merah.
Bangsa yang baik dan kuat, adalah bangsa yang tidak
melupakan sejarahnya dan belajar dari sejarahnya, baik sejarah keagungan maupun
sejarah kelam, serta mengakuinya. Disamping itu, untuk menjadi bangsa yang
beradab dan berbudaya tinggi serta unggul disamping luhur, kita pun perlu
menjiwai serta mengingat, menghayani, dan mengayomi betul ikrar yang pernah
dicetak oleh sejarah para generasi sebelum kita dan para leluhur kita. Untuk
itu, tetap kiranya bagi penulis untuk mengutipkan dalam rangka mengingatkan
kembali substansi penuh sakralitas “Sumpah Pemuda” untuk dikenang dan dihayati
oleh generasi muda kita di keseharian, sebagai berikut:
“Kami putra dan putri
Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.”
“Kami putra dan putri
Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.”
“Kami putra dan putri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.