SERI SENI HIDUP
Bahaya Dibalik Sikap Memungkiri Kebenaran tentang
Hidup adalah Duka (Tidak Memuaskan dan Tidak akan Pernah Terpuaskan)
“Dokter, ada yang salah ini dengan tubuh saya, sakit.” “Pasienku yang manis dan tersayang, justru bila kita tidak ada derita barulah itu artinya bermasalah, alias sudah ‘game over’.” (Dikutip dari ceramah Ajahn Brahm)
Tampaknya dan pastinya bukan hanya penulis seorang diri, yang pernah mengenal seseorang atau bahkan memiliki anggota keluarga, yang dalam keseharian, bersikap seolah-olah hanya dirinya seorang diri yang dapat merasakan duka, pahit-getir dan derita kehidupan. Istilah “duka”, bersumber dari Bahasa Pali yang bernama “dukkha”, yang bermakna “derita yang ditimbulkan oleh ‘kebenaran mengenai corak kehidupan’ perihal tiada pernah ada kata terpuaskan”, yang bila kita singkat sebagai “tidak memuaskan” dan “tidak pernah terpuaskan”.
Melihat sifat hakekatnya
sebagai “tidak pernah terpuaskan” dan “tidak memuaskan” inilah, derita
kehidupan bukan menjadi monopoli orang-orang yang hidup dibawah garis
kemiskinan ataupun yang lemah secara sosial dan secara politik. Menyadari akan
hal ini saja, sudah membuat kita menjadi mafhum, mulai dari keserakahan,
perolehan segala materi, bermandikan kesenangan duniawi, menguasai segala akses
sumber daya, pangkat-kedudukan-kekuasaan, terlebih mereka yang hidup dari merampas
hak-hak dan kebahagiaan orang lain, tidak membuat pelakunya bebas dari jeratan
duka. Mereka, pada gilirannya, kian terjerat oleh keserakahan dan kemelekatan
yang membakar jiwa dan pikiran mereka yang liar tanpa dapat ditenangkan,
terlebih terlatih dalam perihal praktik “melepaskan” maupun “kedamaian” dari
segi pikiran maupun lahir dan batin.
Kegagalan pribadi seseorang
untuk memahami kebenaran mengenai tiga corak kehidupan (tilakkhana) demikian, yang terdiri dari anicca, dukkha, dan anatta, akan membuat individu yang
bersangkutan kerap “uring-uringan” atau sebalinya “jungkir-balik” penuh
kesibukan dan pekerjaan (mengejar sesuatu) sepanjang hari, dan sepanjang
tahunnya, bahkan sepanjang hidupnya. Ia akan mengklaim, bahwa hidup dan
kehidupan ini tidak pernah adil baginya, bahwa semua orang bahkan alam semesta
berkonspirasi melawan dan menentang untuk menjatuhkan dirinya. Namun, bisa jadi
itu hanya sekadar “delusi” pribadi yang timbul akibat “fatamorgana” yang semu
atau bahkan diciptakan sendiri oleh ilusi pikirannya yang keruh.
Bila seseorang memang
benar-benar diperlakukan tidak patut, dkorbankan, menjadi korban, atau
mengalami ketidak-adilan, memang patut dan berhak serta layak untuk mengeluhkan
kondisi dan keadaannya, hingga menjerit kesakitan dan penuh kekecewaan—manusiawi
sifatnya. Namun, tidak jarang kita menyaksikan orang-orang yang cukup beruntung
hidupnya, masih pula kerap mengeluh dan masih pula merampas hak-hak orang lain
yang jauh lebih miskin dan lebih malang hidupnya, semata demi memuaskan
keserakahan dirinya pribadi.
Ternyata, belum juga mereka
mencapai kata “puas”. Diberitakan, seorang “predator anak”, bukan hanya
terungkap telah menyetubuhi seorang anak dibawah umur, namun puluhan anak
dibawah umur, dan masih juga mencari-cari mangsa baru lainnya, dibakar dan
terbakar oleh nafsu dalam dirinya yang menyiksa pelakunya, pontang-panting
hilir-mudik jungkir-balik untuk meminta dipuaskan. Kontras dengan praktik para
bhikkhu, yang bahkan hidup selibat di dalam hutan seorang diri, namun hidup
secara tenang, damai, dan bahagia.
Akibat delusi berupa
anggapan bahwa hanya dirinya seorang yang dapat merasakan pahit-getir dan duka
kehidupan, mulailah ia menyabotase kehidupan ini, dengan terlebih dahulu
merampas kebahagiaan orang lain, lambat laun menjadi kebiasaan, sampai pada
akhirnya menjadi bagian dari tabiat atau watak-karakter seseorang. Secara langsung
maupun tidak langsung, membuat ia akan dengan tega hati merampas hak-hak dari
orang lain yang bekerja lebih keras darinya, yang lebih menderita daripada dirinya,
yang lebih banyak berkorban dari pada dirinya, atau yang bahkan dari
orang-orang yang hidup lebih kurang beruntung daripada dirinya.
Inilah jebakan yang membelenggu
seseorang yang berdelusi “hanya aku seorang yang bisa merasakan duka”, bagaikan
lumpur pasir hisap (makin meronta semakin ia menghisap tubuh seseorang terbenam
ke dalamnya sampai terkubur seutuhnya) : “Ada
yang salah dengan diriku dan hidupku ini, aku merasakan penderitaan dan
ketidakpuasan.” Jadilah ia berasumsi, “Mungkin
dengan memperoleh dan mengumpulkan jauh lebih banyak lagi harta dan lebih
banyak lagi dari harta yang sudah kumiliki sekarang ini, aku akan memperoleh
kebahagiaan!”
Namun apa yang kemudian
terjadi? Mungkin analogi sederhana berikut cukup mencerminkan apa yang kemudian
terjadi. Sebagai seorang pemakai kacamata, penulis kerap mengalami masalah
dalam menyetel gagang / frame
kacamata agar tidak terlampau longgar maupun terlampau kencang agar nyaman
dikenakan dan tidak mudah “melorot” di pangkal tulang hidung ataupun sebaliknya
terlampau ketat. Selama bertahun-tahun lamanya, penulis mengira mudahnya gagang
kacamata penulis “melorot” akibat terlampau longgar ujung gagang yang menyangga
bagian kedua tulang telinga. Alhasil, selama bertahun-tahun pula penulis kian
mengencangkan ujung gagang kacamata, dengan harapan tidak lagi longgar.
Namun, fenomena gagang “melorot”
masih terus terjadi, dan kian hari kian penulis kencangkan ujung gagang
kacamata yang penulis kenakan. Selama bertahun-tahun, sampai akhirnya barulah
penulis sadari, yang penulis lakukan justru berkebalikan dari apa yang semestinya
penulis lakukan, yakni bukan kian mengencangkannya, yakni semestinya penulis
kendurkan karena akar masalahnya dari sejak awal ialah kondisi ujung gagang kacamata
yang terlampau ketat dan terlalu kencang sehingga fenomena “melorot” ternyata
juga dapat terjadi bukan hanya karena terlampau kendur.
Penulis selama bertahun-tahun,
bergerak berkebalikan dari apa yang semestinya penulis lakukan, akibat terkecoh
oleh asumsi sehingga berdelusi bahwa akar masalahnya ialah terlampau kendurnya
setelan ujung gagang kacamata yang penulis kenakan. Sama halnya dengan mereka
yang kian memupuk kekayaan, konon kian kaya-raya maka kian serakah adanya, dan
kian tidak terpuaskan, disamping kian dikuasai oleh keserakahan. Apakah para
bhikkhu, yang tidak memiliki harta materi, merasa bahagia lewat “menipu diri”?
Tidak, mereka berlatih praktik “melepaskan” diri dari kemelekatan, memasuki
dunia ketercukupan, keterpenuhan, keterpuasan, merealiasi apa yang disebut sebagai
“kebahagiaan tanpa syarat” alias “kebahagiaan yang tidak mengenal
syarat”—yakni keberaniaan untuk “melepaskan” itu sendiri.
Mereka terkecoh oleh asumsi
delusif, bahwa mereka belum mencapai titik kebahagiaan dan kepuasan puncak yang
absolut tanpa mengenal kurva turun, akibat belum merealisasi tingkat kekayaan
dan kesuksesan dalam perolehan materi tertentu, kian mengejar-ngejar, serta kian
habis waktunya disandera oleh segala urusan bisnis dan segala kerepotan terkait
harta-kekayaan miliknya maupun urusan belasan anak dan istrinya. Anda punya istri
dan anak, maka Anda punya dua mulut untuk Anda beri makan disamping mulut Anda sendiri.
Anda hanya punya diri Anda seorang, maka beban Anda hanya satu mulut untuk Anda
beri makan.
Anda makan tiga kali sehari,
maka tiga kali dalam sehari Anda harus pontang-panting merepotkan diri dan
direpotkan. Anda makan sekali sehari, maka Anda direpotkan atau merepotkan orang
lain cukup sebanyak satu kali dalam sehari. Anda punya satu properti, maka satu
buah properti yang harus anda urus dan rawat. Anda punya sepuluh properti,
jangan berharap untuk menikmati hidup Anda dalam kesunyiaan meditatif. Tidak ada
“uang yang bekerja untuk Anda”, yang ada dalam realita ialah “uang yang
memperbudak Anda”—lagi-lagi berdelusi, seolah-olah Anda yang menguasai dan
berkuasa atas uang itu.
Banyak orang terjerumus dalam obat-obatan
terlarang maupun barang madat candu seperti tembakau, alkohol, dan lain
sebagainya, akibat mencoba menenggelamkan diri ke dalam apa yang mereka sebut
sebagai “pengingkaran” (denial)
terhadap fakta realita dan terhadap diri mereka sendiri. Mereka bahkan rela
merusak diri mereka sendiri demi mengingkari perihal “hidup adalah duka”. Ketika
orang-orang membuat slogan menyesatkan bahwa “hidup adalah anugerah, alam dunia
manusia bak berkunjung ke kafe untuk menikmati hidup yang NIKMAT”, jadilah
dirinya kita terperosok dalam frustasi dan depresi, “Mengapa hidup saya justru berkebalikan, merasakan hal yang berkebalikan
dari apa yang dikatakan bahwa hidup dan dilahirkan adalah NIKMAT?”
Pada titik itulah timbul bibit-bibit
mis-persepsi, bahwa “Berarti ada yang
salah dengan hidup dan diri saya ini.” Yang terjadi kemudian ialah sangat
fatalistis, mulai merusak serta menyakiti diri sendiri, dan mulai pula terbiasa
membenci kehidupan ini, bahkan bisa menjelma pribadi yang gemar menyiksa para
makhluk hidup demi melihat para makhluk malang tersebut menjerit kesakitan
seperti derita dalam dirinya. Setelah mereka terjerumus dalam pemakaian barang
madat dan menjadi pecandu yang mencandu, mereka keluar dari masalah dan benar-benar
meraih kebahagiaan sejati?
Tidak, mereka kian menambah
dosis, sampai akhirnya over-dosis, tewas mengenaskan, menyia-nyiakan hidupnya karena
mereka tidak mengetahui bahwa hidup mereka sejatinya dari sejak semula “tidak
bermasalah karena semua orang mengalami duka dalam hidupnya, sehingga adalah
wajar mengalami derita dan ketidakpuasan”—alias, “semua orang pun mengalami
duka, bukan hanya Anda”. Janganlah menjadi pribadi yang “cengeng” dan “manja”,
bahkan menjadi seorang “pengeluh” yang “berkeluh-kesah” (mengeluh). Orang lain
tidak mengeluh, bukan berarti mereka tidak memiliki derita dalam hidupnya. Masing-masing
orang punya cerita lirih mereka sendiri secara personal.
Alih-alih “melepas”, dirinya
semakin penuh kemelekatan, dan terobsesi terhadap kemelekatan tersebut, bila
perlu dengan cara merampas hak-hak orang yang lebih miskin dan lebih kurang
beruntung darinya—artinya, disaat bersamaan dirinya berasumsi bahwa orang-orang
yang lebih miskin dan lebih kurang beruntung darinya adalah lebih bahagia dari
dirinya, sehingga kebahagiaan itu direnggut dan dirampas dari mereka. Manusia yang
dibelenggu oleh kekotoran batin, cenderung irasional dan tidak logis cara
berpikirnya. Kita tidak perlu terobsesi menjadi bagian dari negara adidaya
semata karena bertubuh besar dan berteknologi canggih. Orang-orang Timur yang
bertubuh kecil dan hidup di hutan sekalipun, bisa lebih beruntung karena
hidupnya lebih bahagia. Kejar kebahagiaan, bukan terobsesi pada kemenangan
dalam kompetisi, gengsi, ataupun arogansi kesombongan.
Yang membedakan antara
orang-orang dengan delusi semacam itu dan mereka yang meski hidup dalam kondisi
kurang beruntung namun masih dapat tersenyum, ialah, derajat kemelekatan.
Seorang bhikkhu sejati, tidak memiliki apapun selain mangkuk untuk
berpindapata, beberapa setel jubah, obat untuk menyembuhkan penyakit bila jatuh
sakit, dan tempat menghuni. Namun, mereka hidup dalam merasa “ketercukupan hati”,
kepuasan batin, serta keterpenuhan.
Sesuatu yang telah penuh, tidak
perlu ditambahi apapun ke dalamnya, karena sudah penuh adanya, yang karenanya
pula mereka tidak merampas hak-hak orang lain terlebih merasa iri hati terhadap
harta milik ataupun perolehan orang lain. Mereka tidak merasa perlu untuk menjatuhkan
orang lain, juga tidak memerlukan piala semacam pemenang juara pertama
kompetisi gulat. Para bhikkhu monastik tersebut, bahkan tinggal di dalam hutan
dalam tradisi Buddhistik Theravada “duthangga”
(bhikkhu hutan, karena menetap dan berlatih di dalam hutan).
Ini bukanlah perihal
“pesimistis”, namun “realistis”. Dari
sikap realistik inilah, kita dapat beranjak lebih lanjut, seperti dipandu oleh
empat kesunyataan mulia sebagaimana dibabarkan oleh Sang Buddha, bahwa : 1.)
hidup adalah dukkha; 2.) penyebab dukkha; 3.) akhir dari dukkha; 4.) jalan menuju akhir dari dukkha. Bila kita memungkiri kebenaran
corak kehidupan perihal dukkha,
dengan menceburkan diri ke dalam kubangan barang madat yang memabukkan dan
melemahkan kesadaran atau bahkan merampas hak-hak orang lain dengan melakukan
manipulasi, penipuan, maupun segala tindak kriminal lainnya, termasuk “menipu diri
sendiri”, maka ia tidak akan pernah beranjak dari tahap level kesatu, “hidup
ini adalah dukkha”, terlebih bergerak
menuju level berikutnya, dan akan selamanya terjerat dalam lingkaran setan
bernama “menyalah-gunakan diri sendiri” dan “upaya sia-sia untuk mengecoh
kehidupan”.
Sang Buddha telah menawarkan solusi sekaligus obatnya, yakni
“jalan tengah beruas delapan”. Tanpa solusi dan jalan keluar, itulah
pesimisme, semisal seseorang dimasukkan ke neraka, dan abadi di neraka,
suatu ideologi penuh fatalistik. Sang Buddha telah menemukan dan berkat
belas-kasihnya kepada para makhluk di berbagai alam, menunjukkan jalannya
kepada kita untuk dapat ditempuh menuju “akhir dari dukkha”. Selebihnya, kita sendiri yang memilih untuk mau
menempuhnya ataukah tidak, dengan usaha kita sendiri dalam melangkah di atas
jalan tersebut, dan kita sendiri pula yang memetik hasil buah manisnya. Tiada
pemaksaan dan tiada otorianisme dalam teladan hidup Sang Buddha, para
siswa-Nya dimotivasi untuk berdaya dan karenanya menjadi terbebaskan dari
kekangan apapun untuk membuat pilihan bebas dalam kemandirian atas diri dan
hidupnya sendiri.
Kebenaran mengenai dukkha, tidak terlepas dari hakiki dua tilakkhana lainnya, yakni kebenaran
perihal anicca dan anatta. Segalanya berubah (anicca), karena itulah kemelekatan dapat
menjadi bumerang bagi mereka yang melekat. Sebagai contoh, kesehatan dan
kemakmuran ekonomi, bagai roda yang berputar, ada kalanya berada di atas, dan
ada kalanya pula bergerak menuju ke bawah, hal yang wajar adanya. Tiada inti atau
tidak diri (anatta), karenanya kita
memiliki kecenderungan untuk menyakiti diri kita sendiri dengan melukai diri ataupun
menjerumuskan diri ke dalam perbuatan buruk dan jahat.
Perbuatan buruk dan jahat, pada
gilirannya mengarahkan kita kepada buah dari perbuatan, buah dari Karma buruk,
yakni derita itu sendiri. Ibarat seseorang mengatas-namakan desakan ekonomi,
melakukan tindak kejahatan seperti mencuri ataupun menipu, maka dirinya akan
selamanya terjebak dan terjerat dalam “lingkaran setan” tanpa akhir, yakni
mengatasi masalah dengan membuat masalah baru—alih-alih mengatasi masalah
dengan tanpa membuat masalah.
Ada orang-orang, yang sekalipun
telah banyak menderita dan berkorban bagi kita, namun tetap menyembunyikan rasa
letih dan rasa sakit yang ia derita, dengan tetap menampilkan dan menebarkan
kehangatan serta membagikan kebahagiaan bagai mentari yang tersenyum menyinari permukaan
Bumi serta semua makhluk di sekitarnya. Untuk itu, kita perlu menghargai
keluhuran karakter yang bersangkutan, dengan menyadari bahwa beliau pastilah
merasakan duka yang juga dirasakan oleh orang lain, baik menanggung derita
fisik maupun batin, karenanya tidak boleh kita secara tidak etis berkata bahwa
dirinya “dengan senang hati menderita demi kita”. Tidak ada orang yang senang
hati menderita dan merepotkan dirinya, itu dilakukan semata karena kebaikan hatinya
membagikan kebaikan hati, hingga tidak pada tempatnya kita “membalas budi baik
dengan air tuba”. Kita harus memahami pentingnya “balas budi” bila kita masih
mengaku sebagia bangsa beradab.
Dengan memahami bahwa duka
bukanlah monopoli diri kita seorang, kita akan lebih mampu menghargai kehidupan
diri sendiri maupun kehidupan orang lain. Beranjak dari kesadaran demikian,
tiada lagi diantara kita yang akan memenuhi hari-hari kehidupannya dengan
berkeluh-kesah, merampas hak-hak orang lain, merasa iri hati, putus asa, merasa
pesimistik “ada yang salah dengan diri dan hidup saya”, membenci kehidupan, terlebih
menyakiti diri sendiri. Alih-alih, kita akan mulai mencintai diri kita, lebih
bertanggung-jawab terhadap orang lain, menghargai setiap makhluk hidup sebagai
sesama makhluk yang sedang berjuang, menghormati harapan setiap orang serta aspirasi
diri sendiri, menerima diri kita apa adanya, bersahabat dengan duka, keberanian
untuk mulai mengakui “apa adanya”, dan tetap melanjutkan hidup secara optimis
serta penuh kebahagiaan.
Menuju ketercukupan,
keterpuasan, dan keterpenuhan, tanpa banyak menuntut. Akhir dari duka, dan
jalan menuju akhir dari duka, itulah optimisme yang menjadi misi misionaris Sang
Buddha, demi kebahagiaan banyak makhluk hidup yang dibelenggu lingkaran
samsara (dari akar kata sengsara atau kesengsaraan yang bersumber dari
tumimbal-lahir tiada berkesudahan). Masalahnya, “jalan menuju akhir dari duka”
mensyaratkan kita untuk berlatih praktik “melepaskan”, melepas dari
kemelekatan. Pertanyaannya, berapa banyak diantara kita yang berani untuk melatih
diri di jalan praktik “melepas”?
Faktanya, lebih banyak diantara
kita yang memilih untuk “menderita di dalam kemelekatan”, akibat pikiran yang terbajak
oleh kebodohan batinnya sendiri. Kekotoran batin sungguh menggoda, kita pun
tergoda serta terkecoh, tanpa pernah mampu belajar dari pengalaman, dan terus
saja hilir-mudik penuh dengan segala kerepotannya, tanpa pernah lagi melirik “pantai
seberang”. Jika sudah begitu, terjerat dalam derita dan berlumuran duka, salah
siapa dan siapa lagi yang hendak kita persalahkan kecuali diri kita sendiri? Bahkan,
sebagian kalangan berspekulasi bahwa alam surgawi menyerupai dunia manusia yang
duniawi, alih-alih “kebahagiaan surgawi”, sehingga praktik “melepas”
menjadi sangat menakutkan bagi mereka, seolah-olah “tabu” dan “alergi”
menyentuhnya karena seolah-olah bertentangan atau melawan kodrat (penuh delusif)
“hidup ini NIKMAT”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.