SENI PIKIR & TULIS
Yang Berbau Tuhan, Dihalalkan, namun Tuhan Versi
Agama yang Mana yang Benar? Tuhan hanya Ada Satu, sementara Agama Majemuk,
Berkah ataukah menjadi Petaka Kemanusiaan?
Tuhan Berbentuk apakah, Batu, Kitab, Tembok, Kubah, ataukah Langit? Uang adalah Ciptaan Tuhan. Artinya, Menyembah Uang = Menyembah Tuhan (???). Manusia adalah Ciptaan Tuhan. Artinya pula, Menyakiti Manusia Lainnya = Menyakiti Tuhan (!!!)
Kepercayaan animisme maupun dinamisme, dilarang, dianggap sebagai agama sesat, sekalipun bisa jadi umatnya toleran dan tidak radikal, atau bahkan baik hati dan budiman. Ideologi komun!sme dan l!beralisme, dibrendel, dimusuhi, diperangi, disensor dan dihanguskan, bahkan terancam dibunuh, sekalipun bisa jadi pengikutnya memiliki perangai yang penuh pengertian, berjiwa lembut, dan penuh kemanusiaan. Mereka, para kepercayaan dan ideologi tersebut, dinyatakan sebagai “terlarang” serta “sesat”, semata karena dinilai “tidak ber-Tuhan”, sebaik apapun umat mereka.
Sebaliknya, mereka yang
“agamais” dan mengaku ber-Tuhan, bisa jadi demikian jauh dari sikap-sikap
“humanis” (terlebih “Tuhanis”), namun dalam keseharian memperlihatkan corak
perilaku bak “premanis”, “barbarik”, “aroganis”, “predatoris”, serta
“hewanis”—justru dikampanyekan secara bebas dan dilegalkan, sungguh suatu
putar-balik logika moral. Agama yang baik, adalah agama yang mamanusiakan
manusia, alih-alih menghewankan manusia.
Sebagai contoh, Partai Komun!s Indonesia
dinyatakan sebagi organisasi terlarang pada era Orde Baru, dimana puluhan ribu
warga (sesama anak bangsa) yang menjadi anggotanya dibunuh dan didiskreditkan
hingga menjadi kaum marginal di negeri sendiri, semata karena elit politik
petinggi partai tersebut dituding melakukan pembunuhan terhadap para jenderal
kemiliteran. Sebaliknya, para umat dan elit agama modern saat kini, yang
melakukan aksi pembunuhan massal terhadap rakyat jelata lewat aksi korupsi
berjemaah, tidak juga kunjung terdapat larangan bagi agama-agama modern ini dan
juga para umatnya tidak mendapat diskredit serupa seperti para anggota Partai
Komun!s Indonesia—suatu praktik ber-“standar ganda” yang melukai hati dan
perasaan publik yang masih bertahan menjaga akal sehat di negeri ini.
Adapun animisme, aliran
kepercayaan komunal yang meyakini adanya roh atau semacam jiwa yang mendiami benda-benda,
dapat berupa pohon, batu, sungai, gunung, dan sebagainya. Sementara itu, dinamisme
merupakan kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang
dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan manusia dalam mempertahankan
hidup, semacam metafisika layaknya Feng Shui hingga juga semacam horoskop
ataupun semacam ramalan nasib dengan melihat “garis tangan”.
Permohonan para umat penganut
animisme, memohon perlindungan kepada roh-roh tidak kasat mata untuk menjaga
manusia yang masih hidup, kesembuhan, kesuburan tanah, turunnya hujan,
keberhasilan panen bebas dari hama, keselamatan perjalanan, dan dihindari dari
berbagai bencana alam. Setidaknya, saat melakukan permintaan dan permohonan
kepada roh, para umatnya bersedia merepotkan diri seperti memberi sesaji dan
upacara-upacara tertentu yang biasanya dipimpin oleh seorang tetua adat—tidak
“maunya instans” semudah praktik ibadah dan ritual agama-agama besar saat kini,
dmana cukup seenak dan segampang duduk manis seminggu sekali selama satu atau
dua jam di tempat ibadahnya, bahkan dengan permintaan-permintaan tidak masuk
diakal seperti “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Sekalipun ritual tidak dapat mensucikan
diri pelaku ritual (menurut Sang Buddha, dimana kesucian hanya dapat
ditempuh lewat perbuatan seseorang itu sendiri semasa ia hidup), namun sampai
pada fakta tersebut saja, kita sudah mampu melihat bahwa umat pengikut animisme
tidak seburuk perilaku dan keyakinan (harapan semu) para umat beragama
kontemporer sekarang ini yang menjadi agama mayoritas semata karena
meng-“kafir-kafir”-kan atau melarang eksistensi praktik agama “animisme klasik”
sehingga punah garis silsilahnya, yang kini hanya mengisi museum ataupun buku-buku
sejarah dengan tajuk “agama purbakala”.
Pemeluk animisme percaya adanya
sebentuk personifikasi yang hidup di balik suatu benda yang mereka kultuskan,
dimana para umatnya percaya bahwa alam semesta atau setidaknya bumi tempat
mereka berpijak, tidak hanya menjadi tempat tinggal bagi makhluk hidup berwujud
fisik semata, namun juga sebagai medium bagi beragam “roh” yang hidup
berdampingan dengan manusia. Mereka bukanlah menyembah patung, namun sesuatu
yang ada dibaliknya, sama seperti ketika ketika warga memperingati hari
Kemerdekaan negaranya, menghormati “bendera” (dalam hal ini simbolisasi jasa-jasa
para pahlawan pendahulu mereka). Bagi yang keberatan terhadap argumentasi
penulis, maka jika Anda masih perlu makan nasi, artinya Anda memakan “berhala”
(nasi = benda mati, mengapa bergantung pada benda mati bukan kepada Tuhan
semata sepanjang hari? Mengapa Anda mati-matian mencari sesuap nasi untuk
dimakan dan untuk diberi makan kepada keluarga Anda?).
Umat Buddha bersujud di hadapan
Buddha rupang, dalam rangka memberi penghormatan atas jasa-jasa Sang Buddha.
Generasi penerus menyuguhkan persembahan buah-buahan di altar almarhum, dalam
rangka mengekspresikan rasa bakti mereka kepada leluhur mereka. Bahkan, para
era modern serba digitalisasi ini, gadget menjadi “agama” baru para anak muda
maupun generasi masa kini, dimana sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk ber-“autis”
ria bersama gadget mereka dan begitu melekat terhadapnya, dimana pula mereka
mengaku “tidak dapat hidup tanpa gadget,
tidak satu hari pun tanpa gadget di tangan”.
Praktis dalam praktiknya,
animisme masih hidup pada era kontemporer ini dalam wujud yang telah
berevolusi, bahkan terhadap mereka yang tergolong kaum paling fanatik
sekalipun, tetap saja mereka meyembah ke arah “tembok”, atau bahkan yang lebih
ekstrim seperti mencium-cium hingga memakan anggur dan roti sebagai lambang
darah dan daging “Tuhan” yang mereka sembah, bukan lagi sekadar memberi hormat
sewajarnya dan sepatutnya saja. Mungkin yang terlebih ekstrim ialah, menyembah seorang
manusia yang mengaku-ngaku sebagai “Tuhan” itu sendiri, manusia yang gaibnya
lahir dari rahim seorang wanita manusia, di kandang ternak.
Adapun dinamisme didefinisikan
sebagai kepercayaan yang meyakini benda di sekitar kita memiliki kekuatan gaib,
medan magnet, getaran, atau gelombang tertentu yang dapat mempengaruhi
kehidupan manusia—definisi mana mengakibatkan ilmu atau metode Feng Shui juga dapat
digolongkan sebagai dinamisme disamping umur dari ilmu Feng Shui yang
setidaknya sudah berusia enam ribu tahun lamanya dari daratan Tiongkok. Relevansinya
dengan era modern sekarang ini, kita ketahui bahwa zat aktif radioaktif memancarkan
radiasinya, yang dapat dimanfaatkan untuk menjadi sumber pembangkit listrik
tenaga nuklir, karenanya mereka yang bergantung pada pancaran atau emisi energi
berkekuatan nuklir, dapat tergolong sebagai penganut dinamisme, bahkan bergantung
sinyal seluler ataupun kuota data internet yang membuat kita dapat saling ber-“telepati”,
juga tergolong salah satu diantaranya—tidak terkecuali mereka yang menggandrungi
tontonan pada tayangan televisi yang memancarkan gambar dan cahaya, hingga teleconference, dimana Tuhan pun “kalah
canggih” karena tidak mampu broadcasting,
semata mengandalkan seorang nabi yang memonopoli “lidah Tuhan” (nabi, dalam
bahasa Inggris disebut sebagai seorang “messanger”).
Animisme dan dinamisme tidaklah
musnah dan juga tidaklah dipunahkan, namun sekadar bertansformasi menjadi
bentuk baru seperti agama-agama besar yang saat kini kita kenal—sehingga
menjadi absurd, ketika salah satu agama besar tersebut merasa berhak untuk
melarang dan membrendel animisme dan dinamisme, sementara itu mereka sendiri
adalah turunan atau evolusi dari animisme dan dinamisme warisan nenek-moyang
kita. Dengan kata lain, animisme dan dinamisme namun dengan jubah dan kemasan
baru yang diberi label embel-embel “Made
in Tuhan”.
Bila pada zaman pra-sejarah,
banyak orang mencari perlindungan pada benda-benda yang mereka yakini memiliki
kekuatan seperti api, batu, air, pohon, binatang, tarian, sajian, mantra, roh,
hingga manusia itu sendiri, maka realitanya pada kondisi saat kini ialah ketergantungan
yang sama seperti ketika agama-agama besar saat kini mencoba memberikan
kenyamanan serta rasa aman bagi penganutnya lewat indoktrinasi hingga dogma-dogma
yang mengatas-namakan nama Tuhan. Meski demikian, terdapat beberapa perbedaan
besar dan kontras yang sangat mencolok antara “animisme dan dinamisme klasik”
dan “animisme dan dinamisme modern”, sebagaimana akan menjadi fokus topik
bahasan kita pada kesempatan ini.
Tiada umat pemeluk “animisme dan
dinamisme klasik” yang menyembah suatu hal, lengkap dengan ritualnya, yang
mengharapkan harapan kelewat serakah semacam penghapusan / pengampunan dosa maupun
penebusan dosa. Mereka bahkan jauh lebih giat ketimbang umat-umat beragama
dewasa ini yang tidak mau repot-repot dan hanya bersedia meluangkan waktu untuk
duduk manis sembari menyanyi ria selama dua jam satu kali pada hari minggu di
tampat ibadah mereka, ataupun yang lebih sibuk memohon, meminta, dan mengemis-ngemis
kepada “Tuhan” yang disamakan dengan sebuah “mesin ATM”.
Para penganut “animisme dan
dinamisme klasik” bisa jadi merepotkan dirinya mempersembahkan kuliner paling
lezat dan paling mewah yang mampu mereka peroleh dan suguhkan pada masanya,
yang mana tentunya memperlukan kerepotan dan persiapan yang menyentuh para
makhluk “langit” untuk setidaknya menaruh perhatian dan belas-kasihan sebagai
buah jirih-payah mereka. Setidaknya, mereka telah mau merepotkan diri, meski
dengan cara yang keliru. Setidaknya pula, mereka tidak beribadah dengan cara-cara
yang merugikan ataupun mengganggu ketenangan hidup umat beragama lainnya.
Kedua, kita tidak akan
menemukan sejarah dimana para pemeluk “animisme dan dinamisme klasik” pada era
prasejarah maupun pada zaman kekinian yang melakukan ritual dengan cara mencium-cium
benda mati yang mereka sembah. Ketiga, setidaknya, paling tidak, para pemeluk “animisme
dan dinamisme klasik” tidak mempromosikan dan juga tidak mengkampanyekan para umat
pemeluknya untuk bersikap intoleran dan radikal terhadap kaum yang berbeda
keyakinan. Keempat, setidaknya dan paling tidak, para umat agama “animisme dan
dinamisme klasik” tidak kompromistis terhadap maksiat dan sebaliknya bisa jadi sangat
toleran terhadap umat beragama lainnya.
Agama yang lebih baru,
semestinya lebih humanis dan lebih evolusioner ketimbang animisme dan dinamisme
versi klasik. Namun telah ternyata bahwa perihal keyakinan keagamaan, dapat
demikian irasional mengisi kepala umat manusia—terutama bila terdapat obral iming-iming
janji surgawi dan penghapusan dosa. Kini, mari kita sandingkan dengan agama “animisme
dan dinamisme modern” salah satu agama besar sebagaimana yang kini kita kenal,
yakni “Agama DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA”,
dengan kutipan sebagai berikut:
- Umar Khattab, sahabat M terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar
mendekati BATU Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan
lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun
tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat rasul Allah
mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Bukhari, No. 680]
- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa
saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun,
maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘
Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap
kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama
dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan
menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.” [Note :
Siapa yang telah menzolimi siapa?]
- “Pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta
kaki mereka.” [Note : Itulah sumber “standar moral” baru bernama “balas dizolimi
dengan PEMBUNUHAN”.]
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada
para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka,
niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang
kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang
... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Dahulu kala, sebelum agama
samawi (agama yang mengatas-namakan nama Tuhan, bukan agama yang bersumber dari
wahyu Tuhan. JIka ada yang tidak sependapat terhadap definisi yang penulis
perkenalkan, maka cobalah jawab pertanyaan berikut : Tuhan versi “Tuhan” agama manakah?),
tiada orang jahat yang setelah berbuat jahat, yakin akan masuk surga sebagai
konsekuensi buah perbuatannya. Mereka yang berbuat kebaikan, patut mengharap
masuk alam surgawi lewat keberadaan Hukum Karma—itulah sebabnya, Buddhisme tidak
serta bukan tergolong agama samawi, mengingat orang baik sekalipun tidak
beragama tetap akan masuk surga setelah ajal menjelang.
Kini, sejak saat agama samawi
lahir ke dunia ini dan menjangkiti pikiran umat manusia bagaikan wabah yang
menyebar dengan luas demikian pesatnya, para pendosa berbondong-bondong dan berlomba-lomba
menimbun diri dengan dosa, mengoleksi dosa, berkubang dalam dosa, tanpa rasa
takut ataupun malu (bahkan merasa bangga), masih pula mengharap dan merasa
terjamin masuk surga. Uniknya, pada era dimana agama “animisme dan dinamisme
modern” justru menjajah umat manusia, menjadikan “animisme dan dinamisme klasik”
sebagai agama terlarang, dilarang, serta diberi stigma sebagai “sesat”, bagai
memungkiri dan menafikan eksistensi serta mengutuk nenek-moyang mereka sendiri.
Kita bahkan masih dapat menemukan
sisa-sisa fragmen “animisme dan dinamisme klasik” pada salah satu “animisme dan
dinamisme modern” seperti praktik menumbalkan manusia seperti menumbalkan anak
kandung sendiri selayaknya pesugihan yang seolah-olah dibutuhkan oleh Tuhan,
menumbalkan binatang / hewan sebagai kurban (ritual berdarah-darah alias penuh
linangan darah alih-alih belas-kasihan), menyembah batu yang bahkan tidak berwujud
hewan maupun manusia (bahkan batu berwujud organ kelamin wanita dengan dalih,
lambang “kesuburan”), sehingga seakan-akan menambahkan embel-embel nama “Tuhan”,
menjadikan agama animisme dan dinamisme klasik menjelma modern?
Mengingat keduanya sejatinya
adalah sesama animisme dan dinamisme, maka janganlah saling melarang atau
menyatakan sesat satu sama lain, terlebih melakukan anarkhi dan radikalisme
berdarah yang intoleran terhadap kemajemukan. Lebih baik seorang penyembah batu
berwujud seekor sapi namun dalam keseharian berperilaku “humanis” terhadap
orang lain apapun latar belakang keyakinannya, ketimbang seorang penyembah Tuhan
berwujud “batu hitam penuh air liur” namun berperilaku “hewanis”. Memuliakan Tuhan,
ialah dengan cara menjadi manusia yang humanis serta mulia, bukan dengan
menjadi seorang “lip service”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.